CERITA-CERITA MENARIK KARANGAN CHUUI
Awal
Kabar
Tentang CHUUI
Cerita 1
Cerita 2
Cerita 3
Cerita 4
Cerita 5
Cerita 6
Cerita 7
Cerita 8
Cerita 9
Cerita 10
Cerita 11
Cerita 12
Cerita 13
Cerita 14
Cerita 15
Cerita 16
Cerita 18
Cerita Belum Selesai #1
Cerita Belum Selesai #2
Cerita Belum Selesai #3
Cerita Belum Selesai #4
Cerita Belum Selesai #5
Cerita Belum Selesai #6
Cerita Belum Selesai #7
NekropoliS

Cerita Tidak/Belum Selesai #7

Sendirian dia membawa mobilnya melaju di jalan yang sepi. Hutan belantara terus menemaninya sepanjang perjalanan. Suasana di situ benar-benar gelap-gulita. Yang terlihat hanyalah aspal yang tersorot cahaya lampu depan mobilnya sendiri.

Sorot matanya yang tajam mencerminkan kerisauan dan kegelisahan. Lengannya yang gemetaran mencengkeram setir erat-erat. Dia tidak tahu di mana dia berada saat ini. Sepertinya dia tersesat. Dia juga merasa kesepian. Oleh karena itu dia menyalakan radio. Namun tak ada satu gelombang radio pun yang tertangkap oleh antena mobilnya. Dia semakin merasa kesepian.

      Dia juga merenung, bagaimana kisahnya sehingga dia mengemudi di tengah kegelapan ini. Tak ada tempat tujuan yang pasti. Bahkan dia sendiri tidak ingat kapan dan dari mana dia berangkat.

      [Ini mimpi, pasti ini mimpi!] pikirnya untuk meyakinkan dirinya. Namun segalanya terasa nyata. Dia mencubit pipinya, dan terasa sakit. Kegelisahan pun makin menyelimuti dirinya.

      Sesekali dia memeriksa keadaan di sekeliling mobilnya. Mungkin saja ada petunjuk yang bisa memberikan informasi mengenai lokasinya saat ini. Namun sejak puluhan jam yang lalu sampai saat ini, tak ada satu pun petunjuk yang dia temui.

      Karena terlalu lama mengemudi, dia mulai mengantuk. Berkali-kali dia terlelap secara tidak sadar, dan untungnya dia selalu terbangun tepat waktu, misalnya pada saat mobilnya nyaris menabrak pohon.

      Setelah sekian lama mengemudi dan menunggu datangnya petunjuk, akhirnya apa yang sejak tadi diharapkannya pun datang. Hutan lebat berlalu dan digantikan oleh dataran berumput yang luas. Samar-samar dia melihat adanya titik-titik cahaya gemerlap yang berkilauan di kejauhan. Kira-kira jaraknya lima puluh kilometer dari lokasi mobilnya sekarang.

      Tanpa berpikir panjang, dia segera menancap gas dan melaju secepat mungkin ke arah cahaya-cahaya harapan itu. Dia merasa jauh lebih lega sekarang, bahkan senyuman sudah bisa terlukis di wajahnya.

      Beberapa lama kemudian, cahaya harapan itu semakin jelas terlihat. Setelah diperhatikan dengan seksama, rupanya itu adalah sebuah kota. Kota itu dikelilingi oleh tembok setinggi kira-kira seratus meter. Namun ketinggian tembok itu kalah jauh jika dibandingkan dengan ketinggian gedung-gedung di dalamnya. Dilihat dari lebarnya yang membentang di cakrawala dari barat ke timur, pastilah kota itu sangat besar dan ramai.

      Akhirnya dia sampai di urban fringe kota itu. Namun tiba-tiba seseorang menyetop mobilnya. Rupanya satpam. Satpam itu memberi isyarat agar dia membuka bagasi mobilnya. Setelah pemeriksaan selesai, si satpam memberi isyarat bahwa mobil sudah boleh kembali berjalan.

      Kini dia sedang membawa mobilnya menempuh suburban fringe dan suburban kota. Dan tak lama kemudian, dia sampai di kaki tembok yang sangat tinggi itu, tepatnya di gerbang kota yang membelah tembok dari permukaan tanah hingga jauh ke atas. Dia pun memasuki gerbang kota itu.

      Gemerlapan kota pun meramaikan suasana. Gedung-gedung tinggi menjulang ke langit, bermandikan cahaya dari lampu-lampu tinggi yang berbaris di sepanjang lorong kota. Di mana-mana terlihat kerumunan pejalan kaki dan kendaraan-kendaraan yang berlalu-lalang. Sungguh bising!

Namun... apa yang harus dilakukannya di kota itu? Dia tidak pernah tahu akan kota itu sebelumnya. Kota itu juga bukan kampung halamannya. Dan lagi-lagi, dia merasa kesepian. Dia pun memarkirkan mobilnya, keluar, dan bersandar di tepi lorong kota yang ramai. Dia sedang merenungkan rencananya setelah ini.

Tiba-tiba ada seseorang yang datang menghampirinya, seorang gadis muda yang manis dan ceria. Dia mengenakan baret, kacamata berbingkai tebal, jaket merah, celana jins biru, dan membawa tas putih yang talinya diselempangkan di bahunya. Matanya yang cemerlang bersinar di balik kacamatanya, dan rambutnya yang agak panjang dan hitam kecoklatan banyak mencuat dari balik baretnya.

Sedang apa kau di sini? tanyanya dengan suara yang pelan.

Dia sedikit terkejut, kemudian menjawab dengan ragu-ragu, Tidak...

Sepertinya kau bukan orang sini. Kau sedang kesepian?

Eh...

Mau ikut bersamaku? Aku juga sedang kesepian. Ayo kita pergi!

Si gadis langsung menarik sebelah tangan dia. Mereka bersama-sama menuju sebuah tempat hiburan malam. Di dalam tempat itu, mereka hanya duduk-duduk, diiringi oleh alunan musik modern yang cukup menghibur.

Oh iya, namaku Vessica[1]. Kamu? tanya si gadis dengan antusias.

Aku tidak tahu siapa aku, jawab dia.

Jangan begitu dong. Ayo, siapa namamu?

Entahlah...

Benar kau tak punya nama? Jangan-jangan kau hilang ingatan! Bagaimana kalau kuberikan nama? Hm... bagaimana kalau Petra[2]?

Dia hanya diam saja. Dia sama sekali tidak menghiraukan Vessica, karena sekarang ini dia dibebani oleh masalah yang lebih penting: bagaimana caranya agar dia bisa kembali ke kehidupannya yang normal? Tetapi dia sendiri tidak ingatatau bahkan tidak tahu sama sekaliakan kehidupannya yang normal.

Petra, Petra! panggil Vessica kepada dia, memulai penggunaan nama Petra dan membangunkan dia dari lamunannya. Kau kenapa? Bermasalah? Tolong ceritakan semua masalahmu padaku!

Sekali lagi Petra terdiam. Memang benar dia akan bisa menghilangkan sedikit beban jika menceritakan masalahnya pada orang lain, namun hal itu tidak akan bisa membantunya keluar dari dunia yang sama sekali asing inimeskipun sebenarnya dia sendiri juga tidak tahu dunianya yang sebenarnya. Atau mungkin juga dia tidak memiliki dunia tempat dirinya berasal.

      Aku... tak tahu dari mana aku berasal.... gumam Petra.

      Apa? Ternyata benar, kau pasti hilang ingatan! Bagaimana kalau aku membantu mencarikan tempat asalmu? kata Vessica menawarkan bantuan.

      Terima kasih, tapi...

      Kenapa?

      Ada sesuatu yang anehseakan aku tidak pernah menjalani kehidupan selama ini.... Aku tak tahu dari mana aku berasal. Aku tak tahu siapa keluargaku. Sepertinya aku tidak nyata.

      Wah... baru kali ini aku mendengar kisah ganjil seperti itu. Tapi menurutku sih kau hilang ingatan.

      Mungkin juga, tapi jika hilang ingatan, tidak mungkin aku mendapati diriku sedang menyetir ketika tersadar.... Tidak mungkin jika aku hilang ingatan secara tiba-tiba tanpa sebab yang jelas.

      Wah... susah itu. Hm... mungkin kau arwah orang lain yang merasuki tubuh Petra yang sedang menyetir!

      Apa?

      Yah, kelihatannya memang kurang masuk akal, tetapi itu paling cocok dengan keadaanmu saat ini, kan?

      Arwah orang lain? Tetapi aku tidak ingat apa-apa!

      Anggap sajalah arwah yang hilang ingatan! Iya, kan?

      Petra menundukkan kepala dan memikirkan pendapat Vessica yang kurang masuk akal itu. Namun sepertinya pendapat itu ada benarnya juga. Lalu Petra mulai berbicara lagi.

      Kalau memang begitu, bagaimana caranya agar aku bisa kembali? Atau aku tak perlu kembali ke tempat asalku?

      Itu tergantung keinginanmu, jawab Vessica. Kau mau pulang? Aku akan mencoba sebisaku untuk membantumu jika kau ingin pulang, tapi tentu saja tidak hari ini. Maklumlah, orang sibuk.

      Terima kasih. Oh iya, kalau boleh tahu, kau tinggal di mana?

      Rumahku terletak di pinggiran. Aku ke sini sendirian karena aku merasa sangat bosan di rumah, sekalian mencari teman baru. Dan ternyata aku bertemu kau!

      Oh.... Eh kita sampai kapan mau di sini?

      Tidak betah ya? Kita baru saja sebentar di sini. Tunggulah.

      Bukan begitu. Maksudnya, kita jangan hanya di sini saja. Kan lebih baik jika kita jalan-jalan ke tempat yang lain juga, sekalian aku juga ingin melihat-lihat.

      Ya sudah. Ayo pergi!

      Mereka berdua pun keluar dari tempat itu dan menjelajahi tempat-tempat menarik lain di kota itu. Taman hiburan, bioskop, mall, pentas seni, dan pusat-pusat keramaian lainnya mereka jelajahi semuanya. Mereka merasa sangat bahagia, begitu bahagianya sehingga tak sadar Petra telah sejenak melupakan masalahnya.

 

***

 

      Waktu berlalu cukup cepat. Menara jam digital di tengah kota telah menunjukkan pukul satu dini hari. Suasana di pusat kota telah berganti. Gemerlap cahaya masih menerangi kota, namun orang-orang telah meninggalkan pusat keramaian dan pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat. Tinggal beberapa orang saja yang masih berkeliaran.

      Sementara itu, Petra dan Vessica masih terus berbincang-bincang, menghabiskan malam dan menunggu datangnya pagi. Tidak mungkin jika Vessica membawa Petra menginap di rumahnya atau meninggalkannya sendirian di tengah kota yang masih asing bagi dirinya.

      Jadi selama ini pacarmu pergi dan tidak juga memberi kabar? tanya Petra dengan terkejut sekaligus simpatik.

      Ya, begitulah, jawab Vessica dengan senyuman yang ikhlas, meskipun agaknya hatinya diselimuti kesedihan. Tapi sampai sekarang aku tetap tidak bisa melupakannya.

      Kalau suatu hari kau bertemu dengannya, kau akan bagaimana?

      Mungkin aku akan langsung menghajarnya! Vessica tersenyum licik. Tak bisa dimaafkan!

      Wah, mengerikan. Oh, aku tahu! Pasti pacarmu tidak berani menemuimu lagi, jadi dia tidak mau keberadaannya kauketahui!

      Tidak mungkin! Vessica sedikit berteriak. Aku tahu dia bukan seorang pengecut. Dia pasti...

      Namun tiba-tiba mereka mendengar sesuatusuara rintihan samar-samar yang makin terdengar jelas. Suara itu sungguh membuat iba, seakan menceritakan segala kesedihan yang pernah dialaminya selama ini.

      Petra dan Vessica memasang telinga mereka tajam-tajam. Suara rintihan samar-samar itu mulai diselingi isakan. Tak jauh dari situ, mulai tampak bayangan kecil yang mendekat ke arah mereka berdua. Ternyata seorang gadis mungil. Dia menangis tersedu-sedu sambil mengucek matanya.

      Rambut kuning anak itu dikuncir dua. Telapak kakinya tidak beralaskan apa-apa. Dia tampak tenggelam dalam dress-nya yang agak kebesaran.

      Dengan khawatir, Petra dan Vessica langsung mendekati si gadis mungil dan merendahkan badan di depannya agar bisa melihat lebih jelas wajah gadis itu.

      Wajah gadis mungil itu sungguh sayu. Air mata menggenangi kelopak mata bawahnya dan sesekali mengalir ke pipinya.

      Kenapa kamu menangis? tanya Vessica dengan khawatir.

      Masih berkeliaran malam-malam begini? Di mana orang tuamu? tanya Petra dengan nada yang kurang ramah.

      Namun tangisan gadis mungil itu malah semakin menjadi-jadi. Perlahan-lahan Petra dan Vessica mencoba untuk menenangkan gadis mungil itu dan akhirnya berhasil.

      Aku sudah tidak tahan di rumah... kata si gadis mungil sambil masih mengucek matanya.

      Kenapa? tanya Vessica dengan prihatin sekaligus penasaran.

      Papa dan mama sudah tidak peduli lagi padaku, seakan aku ini tidak ada...

      Si gadis mungil kembali terisak. Petra dan Vessica pun terdiam selama beberapa lama. Kemudian air mata gadis mungil itu mulai berhenti. Si gadis berhenti mengucek mata. Dia menengadah agak tinggi dan menatap wajah Vessica. Setelah beberapa lama, dia berhenti menatap wajah Vessica dan mengalihkan pandangannya kepada Petra. Gadis mungil itu terbelalak.

      Aabang... kau Cervus[3], bukan? tanya si gadis dengan ragu-ragu sambil menunjuk Petra.

      Cervus? Siapa dia? tanya Petra penasaran.

      Abang tak tahu diri abang sendiri? Abang kan Cervus, teman abangku! Tahun lalu Abang dan abangku pergi ke Desa Phytus[4] untuk melakukan penelitian.

      Hei, jangan panggil aku abang!

      Maaf, kalau begitu Mas.

      Terserahlah, dan aku tidak tahu soal Cervus... tapi mungkin saja perkataanmu itu benar...

      Tak salah lagi, abang adalah Cervus!

      Tiba-tiba Vessica memotong, Apa kau yakin?

      Tentu saja. Aku masih ingat wajahnya!

      Tak lama setelah si gadis mungil selesai berbicara, mulailah terasa pertanda-pertanda buruk. Samar-samar terdengar suara gemuruh. Makin lama gemuruh itu makin membesar. Getaran-getaran kecil pun ikut meramaikan suasana. Perlahan-lahan, getaran itu semakin hebat.

      Petra dan yang lainnya sedikit terkejut. Petra langsung berdiri dan memandang berkeliling, berjaga-jaga kalau ada bahaya yang datang. Vessica juga berdiri dan melindungi si gadis mungil. Beberapa orang yang masih tersisa selain mereka berlarian panik.

      Kenapa ini!? seru Petra keheranan.

      Entahlah, sahut Vessica yang sama herannya dengan Petra, aku sendiri tidak tahu.

      Mendadak terdengar gemuruh yang keras sekali. Seketika itu juga, Petra, Vessica, dan si gadis mungil mengalihkan pandangan ke arah sumber bunyi. Terletak agak jauh dari mereka bertiga, dan terhalangi oleh beberapa buah bangunan-bangunan yang agak tinggi, sebuah gedung yang menjulang sangat tinggipaling tinggi di antara gedung-gedung lainnya di area itutampak bergetar kemudian berguncang hebat. Sedetik kemudian, puncak gedung itu tampak anjlok, dan debu yang tebal pun mengepul. Rupanya gedung itu ambruk.

      Kehancuran gedung itu disusul oleh kehancuran bangunan-bangunan lainnya. Beberapa bangunan cukup tinggi yang terletak di lorong tempat Petra dan yang lainnya berada pun roboh.

      Petra dan Vessica melarikan diri sebisa mungkin dari tempat itu sambil membawa si gadis mungil. Mereka berlari menempuh lorong kota yang bergetar karena robohnya bangunan-bangunan di situ. Berkali-kali mereka nyaris tertimbun puing-puing bangunan.

      Kita harus lari ke mana!? seru Petra dengan panik sambil berlari sekuat tenaga. Dia sangat mengharapkan jawaban dari Vessica secepatnya dari belakang.

      Bagaimana pun caranya, kita harus keluar dari kota ini! balas Vessica tersengal-sengal sambil menggendong si gadis mungil dan mengejar Petra.

      DUAR! Serta-merta langit berubah sangat terang, seperti langit siang. Tak lama setelah itu kegelapan kembali menguasai langit. Sepertinya telah terjadi ledakan besar di area lain kota yang terletak di kejauhan. Tiba-tiba saja semua lampu kota padam. Keadaan menjadi gelap-gulita. Untunglah bintang-bintang dan rembulan di langit masih bersinar sehingga adegan-adegan di kota itu masih bisa terlihat dalam keremangan malam.

      Saat ini mereka bertiga telah mencapai area tempat Petra pertama kali bertemu Vessica. Secepat mungkin mereka menuju gerbang kota. Gerbang harapan itu sudah terlihat di kejauhan. Makin lama makin dekat. Dan akhirnya sudah berada di depan mata.

      Begitu mereka bertiga sudah sangat dekat dengan gerbang kota, sebuah bayangan yang mahabesar menelan mereka. Petra segera berusaha mengetahui apa yang menghalangi langit di atas mereka. Dia menengadah ke atas dan mendapati di atasnya terdapat ribuan kaca-persegi mengkilap yang tersusun rapi seperti lantai, sedang tumbang dan akan menimpa mereka. Rupanya sebuah gedung yang sangat besar akan segera roboh.

      Tanpa berpikir panjang, Petra yang menyadari akan hal itu langsung menarik lengan Vessica dan membawanya berlari menjauhi gerbang itu. Namun pada saat mereka sudah bisa dibilang aman, Vessica malah berusaha melepaskan diri dan berlari mendekati gerbang kota sambil berseru kepada Petra dengan panik, Anak kecil itu masih di sana!

      Petra sangat terkejut. Segera saja dia berlari sekuat tenaga menyusul Vessica. Dia menyuruh Vessica menghindar dan menjauh dari bahaya; biarkan Petra saja yang menyelamatkan anak kecil itu. Namun belum lama waktu berjalan, gedung itu sudah semakin dekat dengan bumi. Akhirnya sebelum mencapai batas waktu maksimumnya untuk berada di daerah berbahaya itu, Petra mendekati si gadis mungil dengan cepat, menangkapnya, dan membawanya berlari menghindari gerbang kota. Tepat pada saat Petra dan si gadis mungil berhasil keluar dari bidang sentuh antara gedung dengan bumi, gedung itu menghantam bumi dengan sangat keras.

      Debu yang tebal pun mengepul dan menyelimuti area itu. Kemudian setelah beberapa lama, debu itu menipis dan akhirnya menghilang.

      Kini gerbang menuju luar kota itu telah tertutup oleh reruntuhan gedung. Hal ini memperkecil harapan dan menghalangi mereka untuk selamat dari kota yang sedang dalam proses menuju kehancuran ini.

      Sial! teriak Petra dengan penuh penyesalan. Dia memandang ke bawah dan menendang beberapa pecahan kecil bangunan. Seandainya saja kita sedikit lebih cepat...

      Vessica dan si gadis mungil menatap Petra selama beberapa saat. Tiba-tiba Petra menyadarinya dan cepat-cepat mengalihkan pandangannya kepada Vessica.

      Vessica! serunya dengan nada sedikit geram.

      Vessica terkaget dan sedikit gemetaran.

      Apa masih ada jalan keluar yang lain? tanya Petra dengan suara yang keras. Begitu keras suaranya sehingga mengalahkan suara gaduh gedung-gedung yang sedang roboh.

      Aku tahu jalan keluar yang lain... jawab Vessica dengan pelan. Kota ini memiliki saluran air bawah tanah yang terstruktur dengan kompleks. Ada beberapa saluran yang terhubung dengan sungai di batas luar kota. Jadi, kita masih punya harapan untuk keluar.

      Di mana jalan masuk ke saluran bawah tanah itu?

      Letaknya agak jauh dari sini, sekitar sepuluh kilometer. Bagaimana?

      Tunggu apa lagi! Ayo pergi!

      Petra langsung berlari dan menempuh lorong-lorong sempit, diikuti Vessica yang kerepotan menggendong si gadis mungil.

      Mbak... gumam gadis mungil itu.

      Apa? sahut Vessica seraya memutar lehernya ke belakang.

      Kenapa kota ini bisa hancur begini?

      Entahlah, aku juga tidak tahu. Sedapat mungkin, kita harus berhasil lolos dari sini.

      Tiba-tiba air mata membasahi mata gadis mungil itu.

      Babagaimana nasib mama dan papaku...? Bisakah kita menyelamatkan mereka terlebih dahulu?

      Memangnya di mana mereka sekarang? tanya Vessica tersengal-sengal namun simpatik.

      Mereka berada di rumah. Kalau Mbak bersedia, belok kanan di sana untuk mencapainya. Si gadis mungil menunjuk tikungan di depan yang tidak begitu jauh.

      Baiklah, kata Vessica memutuskan, Petra! Berhenti sebentar!

      Petra menghentikan larinya, dan membalikkan badannya ke belakang, Kenapa?

      Bantu aku menyelamatkan orang tua anak ini! Rumahnya di belokan itu!

      Petra mengangguk setuju. Dia dan Vessica bergegas masuk ke tikungan itu dan berlari secepat mungkin menuju rumah si gadis mungil.

      Di mana rumah mereka? tanya Vessica dengan panik.

      Di situ, jawab si gadis mungil dengan pelan. Dia menunjuk sebuah mansion di ujung jalan, yang megah namun remuk tertindih puing-puing bangunan di sekitarnya yang roboh.

      Secepat kilat, mereka menghampiri mansion itu, memasukinya, dan mencari korban yang selamat. Namun tak ada tanda-tanda kehidupan di mansion yang gelap itu.

      Tidak ada di mana-mana. Di mana orang tuamu biasanya? tanya Petra sambil menyapu keringat di dahinya.

      Dulu mereka biasa tidur di kamar utama, namun sekarang mereka sering bertengkar dan saling pisah. Biasanya mama di kamar sana dan papa di kamar utama.

      Tapi tadi kita sudah mencari ke sana dan tidak ada. Apa rumah ini punya ruang bawah tanah atau semacamnya untuk berlindung?

      Gadis mungil itu tersentak dan terdiam sejenak. Sepertinya ia mulai teringat sesuatu.

      Aku baru ingat, katanya. Dulu papa dan mama sering melarangku untuk dekat-dekat ke dapur.

      Mungkin mereka berada di suatu tempat di sekitar sana! seru Vessica dengan yakin.

      Mereka pun langsung bergegas menuju dapur di bagian belakang mansion itu. Tak ada hal yang mencurigakan di situ. Yang ada hanyalah deretan kompor, rak-rak yang penuh dengan peralatan masak, lemari es, dan tempat cuci piring.

      Di situ! seru si gadis mungil sambil menunjuk kain hijau besar yang menempel pada dinding dapur. Dulu aku sering melihat papa dan mama membenahi kain aneh itu!

      Petra mengangguk, menyuruh Vessica dan si gadis mungil untuk diam di tempat, dan menghampiri kain itu. Dia menyingkap kain itu dan mendapati ada lubang gelap yang cukup besarcukup untuk dimasuki orangdi balik kain itu.

      Mungkin mereka bersembunyi di dalam sini, kata Petra mengalihkan pandangannya kepada Vessica dan si gadis mungil. Ayo ke sini.

      Petra masuk duluan, disusul Vessica yang dengan susah payah masih saja menggendong si gadis mungil. Mereka menuruni undakan menurun di lorong gelap yang seakan tiada akhir.

      Oh iya, aku lupa. Boleh aku tahu namamu? tanya Vessica dengan senyum agak terpaksa karena keberatan menggendong si gadis mungil.

      Namaku Zea[5]. Kalau Mbak?

      Aku Vessica, dan dia Petra. Vessica menunjuk Petra di depan.

      Kau jangan seenaknya memberi nama dan menyebarluaskannya pada orang lain, kata Petra sambil menghadap belakang.

      Hehehe maaf, kata Vessica tersenyum. Eh Zea boleh tidak aku menurunkanmu? Sosoalnya berat

      Oh iya, maaf, Mbak Vessica. Aku sudah terlanjur merasa nyaman sampai lupa.

      Vessica pun menurunkan Zea dan menyuruhnya agar tidak jauh-jauh darinya. Kemudian mereka bertiga kembali berjalan menuruni tangga.

      Tak lama kemudian, tampak secercah cahaya terang di kejauhan, sepertinya jalan keluar. Mereka bertiga terus menuruni tangga dan akhirnya sampai di tujuan.

      Ruangan itu benar-benar terang. Tampak sosok dua orang sedang terbaring di lantai. Yang satu wanita dan yang lainnya adalah pria. Darah yang berwarna merah pekat melumuri dua sosok itu. Sebilah pisau tertancap pada perut si pria.

      Papa! Mama! jerit Zea. Dia menghampiri sosok kedua orang itu dan menangis histeris di sampingnya. Namun tangisan itu terhenti sejenak karena mendadak Zea mendapati bahwa ibunya masih bernyawa.

      Mama! teriak Zea dengan penuh harap.

      Zea syukurlah kamu masih hidup kata ibu Zea tersendat-sendat. Maafkan mama dan papa, telah membuatmu menderita. Kamu mau kan, memaafkan mama dan papa?

      Tentu saja, Ma. Mama, siapa yang melakukan ini!? Zea bertanya dengan air mata yang bercucuran.

      Namun ibu Zea tidak menjawab.

      Siapa, Ma!? Beri tahu aku!

      Ibu Zea tetap tidak bersuara. Sepertinya berat sekali untuk menjawab pertanyaan Zea.

      Aku mohon, Ma! Aku akan membalas dendam pada orang itu!

      Jangan, Zea, kata ibu Zea mulai berbicara.

      Kekenapa!?

      Kakarena dia adalah didia adalah Napas ibu Zea mulai tersendat-sendat.

      Siapa?

      Dia adalah aabangmu

      Setelah mengucapkan kalimat itu, ibu Zea menutup matanya rapat-rapat. Dia menghembuskan napasnya yang terakhir. Serta-merta jasad kedua orang itu memudar dan akhirnya menghilang dalam kilauan cahaya yang entah berasal dari mana. Ini merupakan hal yang sangat ganjil.

      Air mata kesedihan pun tak bisa ditahan lagi. Zea menangis selama beberapa lama. Petra dan Vessica hanya bisa berjongkok di dekat Zea dan turut berduka cita. Kemudian mereka berusaha menghiburnya, namun tak ada gunanya. Zea terus menangis dan menangis.

      Zea, kata Vessica dengan lembut. Aku tahu, sulit rasanya merelakan orang yang sangat dicintai untuk pergi selama-lamanya, tapi kita tidak boleh selamanya terpaku pada hal ini. Kita harus terus melangkah maju dan menggapai masa depan, demi kepentingan kita sendiri.

      Zea tidak menjawab. Dia terus menangis.

      Zea! teriak Petra, memanggil nama itu untuk pertama kalinya. Sampai kapan kau mau terus menangis!? Kita harus melanjutkan perjuangan untuk keluar dari kota ini! Kita tidak boleh terus di sini!

      Meskipun Petra menasihatinya, Zea tetap sama seperti sebelumnya, menangis. Lama-kelamaan, Petra jengkel juga pada Zea.

      Sebenarnya aku tidak mau melakukan ini, tapi tak ada jalan lain gumam Petra.

      Tiba-tiba Petra memegang dagu Zea, menaikkannya, dan menampar wajahnya keras-keras.

      Petra! jerit Vessica. Kenapa kaulakukan itu!?

      Dia harus disadarkan! balas Petra marah. Ini jalan satu-satunya kalau dia mau selamat dari kota ini!

      Tapi dia masih kecil! Wajar kan, kalau anak kecil menangis karena ditinggalkan orang tuanya!?

      Tidak apa-apa, Mbak. Tiba-tiba saja Zea membuka mulutnya. Dia sudah berhenti menangis sekarang. Dia menyapu air matanya. Abang Petra benar, aku tidak boleh selamanya menangis di sini. Aku harus kuat.

      Zea gumam Vessica iba. Dia merasa kasihan pada anak kecil yang kuat menerima cobaan berat itu.

      Maafkan aku, ya, Abang Petra, Mbak Vessica kata Zea sedikit tersenyum.

     Eh tidak, kata Petra tersipu, justru akulah yang harus meminta maaf karena telah menamparmu. Maafkan aku.

      Senyuman Zea semakin merekah lebar. Dia sudah tidak bersedih lagi atas kepergian orang tuanya, dia sudah mengikhlaskan kepergian mereka.

      Nah, kata Petra, sekarang kita lanjutkan perjalanan!

      Perjuangan pun berlanjut. Mereka menaiki undakan ke atas menuju dapur, kemudian berjalan menuju ruang depan. Namun ada sesuatu yang berbeda dengan tadi. Keadaan sudah berubah jauh. Bagian depan mansion telah hancur tertimpa reruntuhan bangunan yang roboh sewaktu mereka berada di bawah tanah, dan jalan keluar rumah itu telah tertutup.

      Apa masih ada pintu keluar yang lain, Zea? tanya Vessica.

      Tidak ada. Pintu depan ini satu-satunya pintu keluar rumah, jawab Zea.

      Jadi bagaimana? keluh Vessica dengan panik.

      Susah amat kalian, kata Petra dengan tenangnya. Dia lalu menunjuk kaca besar di sudut lain ruangan. Pecahkan saja kaca itu, masalah selesai.

      Petra mendekati kaca itu. Dia yakin kaca itu akan pecah bila dihantam, dan dia pun menonjoknya keras-keras. Namun sebaliknya, kaca itu tetap utuh, bahkan tidak ada keretakan sama sekali. Tepat sesaat setelah menonjok kaca itu, Petra menjerit kesakitan sambil memegangi tangannya dan melompat-lompat. Vessica dan Zea terkikik melihatnya.

      Diam, kalian! kata Petra jengkel. Zea, apa-apaan kaca ini!?

      Maaf, Abang Petra, tanggap Zea. Aku lupa memberi tahu Abang kalau semua kaca di rumah ini adalah kaca tebal yang antipeluru dan antipecah.

      Kenapa tidak bilang dari tadi!?

      Habisnya Abang tergesa-gesa sih.

      Benar, kau sok jagoan, Petra, kata Vessica menambahkan sambil masih terkikik.

      Petra tampak ingin marah, namun tidak bisa melampiaskannya. Tak lama kemudian, kemarahannya pun reda.

      Jadi bagaimana? kata Petra meminta pendapat Vessica ataupun Zea. Adakah jendela yang bisa dibuka?

      Semua jendela di rumah ini tidak bisa dibuka, jawab Zea, kecuali dengan kunci yang disimpan di dalam brankas digital ruangan bawah tanah. Tapi hanya papa dan mama yang tahu kodenya.

      Ampun deh, rumah ini benar-benar tidak sehat, dan segalanya serba rahasia! keluh Petra sambil memegangi dahinya. Dia benar-benar pusing karena sistem pengaturan yang sangat kompleks di mansion itu. Kalau aku jadi kau, aku pasti sudah kabur dari rumah ini sejak dulu.

      Abang Petra tidak akan bisa lari dari rumah inipasti akan ketahuan. Oh iya, Bang, bagaimana kalau kita kembali ke bawah dan mencoba-coba kodenya? Siapa tahu bisa.

      Aku tidak begitu yakin, tapi baiklah

      Mereka bertiga pun kembali ke ruang bawah tanah. Zea menunjukkan brankas digital yang tombol-tombolnya berderet di pojok dinding ruangan.

      Nah, Abang silakan mencoba-coba kode rahasianya. Kalau tidak salah kodenya berdigit sepuluh, dengan semesta berupa angka satu sampai sepuluh dan dua puluh enam abjad!

      Hm gumam Petra. Abjad ada dua puluh enam, angka ada sepuluh, dan kodenya berdigit sepuluh. Berarti gila! Ada sembilan ratus dua puluh dua triliun tiga ratus sembilan puluh tiga miliar dua ratus enam puluh tiga juta seratus ribu[6] kemungkinan!

      Kau tahu dari mana? tanya Vessica keheranan. Apa kau pernah belajar matematika sebelum ini?

      Tidak, jawab Petra. Justru itulah yang membuatku bingung. Aku tidak pernah ingat kalau aku pernah hidup, tapi aku bisa berbicara, bisa menyetir, bahkan bisa berhitung!

      Maksud Abang? tanya Zea penasaran.

      Aku tidak ingat masa laluku, atau mungkin aku memang tidak punya masa lalu. Aku merasa baru dihidupkan beberapa jam yang lalu.

      Wah sungguh tidak masuk akal. Mungkin hilang ingatan, Bang.

      Tuh, betul kan? celetuk Vessica. Aku juga berpendapat kalau kau hilang ingatan, entah dulunya kau manusia, hantu, arwah, atau yang lainnya.

      Mungkin juga gumam Petra.

      Ngomong-ngomong, lanjut Zea, Abang benar-benar belum pernah dengar nama Cervus?

      Sudah kubilang, aku tidak tahu nama itu, balas Petra, bosan dengan masalah Cervus itu.

      Tapi kau mirip sekali dengan Cervus.

      Terserah kaulah, yang penting sekarang kita harus mencoba memecahkan kode rahasia brankas digital ini.

      Petra mulai mengaktifkan switch brankas itu. Sebuah proyeksi layar muncul di dinding, bertuliskan Selamat datang di komputer brankas digital milik Keluarga Mays. Kemudian tulisan di layar berubah menjadi Masukkan sepuluh digit kode rahasia untuk membuka brankas ini. Anda hanya memiliki tiga kesempatan, dan jika terjadi kesalahan sebanyak tiga kali, brankas ini tidak akan bisa dibuka lagi.

      Ini gawat, gumam Petra. Berarti peluang kita untuk berhasil adalah 3 : 922 393 263 100 000. Kecil sekali kemungkinannya. Zea, coba sebutkan kode, apa saja. Terserahmu!

      Baiklah, kata Zea, kemudian menebak-nebak, bagaimana kalau 1 B 3 D 5 F 7 H 9 J?

      Oke, balas Petra. Dia menekan tombol-tombol brankas itu dengan perlahan dan sangat hati-hati, namun terjadi kesalahan pengetikan sehingga dia membuat satu kesalahan.

      Aduh, kau ini bagaimana! keluh Vessica panik. Kita sudah salah satu kali!

      Kau diam saja, balas Petra. Aku akan coba memasukkan kodenya lagi.

      Petra memasukkan kode itu lagi. Kali ini dia jauh lebih hati-hati dalam melakukannya. Setelah selesai, muncul tulisan di komputer Kode ditolak.

      Kini Petra sudah melakukan dua kesalahan. Kalau salah sekali lagi, lenyaplah harapan mereka untuk keluar dari situ.

      Vessica! panggil Petra. Kali ini giliranmu dalam menyumbangkan kode!

      Baiklah, sahut Vessica. Apa ya, yang kira-kira bagus? Ini saja, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0!

      Kau gila! seru Petra. Apa mungkin kodenya semudah itu?

      Justru itulah, kata Vessica. Menurutku kode itu terlalu mudah sehingga jarang digunakan. Cobalah.

      Hm terserahlah, kata Petra ragu-ragu. Dia memasukkan kode sehati-hati mungkin. Setelah selesai, muncul tulisan yang berbeda dengan yang muncul sebelumnya. Tulisan yang muncul adalah Anda hebat, berani memasukkan kode konyol seperti itu, meskipun kode Anda salah.

      Komputer ini maunya apa sih? keluh Petra jengkel. Tetapi tulisan itu masih berlanjut. Lanjutannya adalah tetapi jangan khawatir! Meskipun Anda gagal dalam memasukkan kode, komputer akan memberikan Anda hadiah hiburan. Terima kasih telah menggunakan jasa layanan kami!.

      Hadiah hiburan? Petra bertanya-tanya. Maksudnya?

      Tiba-tiba dinding tempat brankas itu bersandar bergeser dan memperlihatkan sebuah terowongan yang cukup besar dan lebar.

      Inikah? gumam Petra ragu-ragu. Vessica, Zea, ayo masuk.

      Tutunggu dulu! kata Vessica. Apa kau tahu ke mana tujuan terowongan ini?

      Tidak, jawab Petra dengan tenangnya. Kita kan tidak tahu kalau belum mencoba.

      Petra pun masuk ke dalam terowongan, diikuti Vessica dan Zea. Mereka bertiga berjalan menyusuri terowongan gelap yang terbuat dari bata itu. Untunglah Vessica selalu membawa lampu senter di dalam tasnya sehingga mereka bisa berjalan dengan lebih tenang dan aman. Getaran-getaran dan guncangan-guncangan menyemarakkan suasana. Sepertinya di permukaan tanah gedung-gedung sedang hantam-menghantam. Setelah beberapa lama berjalan, langkah mereka terhenti sejenak.

      Kau mencium bau sesuatu? tanya Vessica pada Petra dan Zea.

      Ya, dan baunya busuk sekali, jawab Petra sambil menutup hidungnya agar tidak mencium bau busuk itu. Eh, aku mendengar suara samar-samar. Coba kalian dengarkan. Arahnya dari ujung jalan ini.

      Samar-samar terdengar suara. Lama-lama suara itu makin terdengar jelas, seperti suara gemercik air yang mengalir.

      Sepertinya ini adalah Petra memandang ke depan sambil bergumam.

      Saluran air bawah tanah! seru Vessica gembira. Rupanya ruang bawah tanah rumah Zea terhubung dengan saluran air bawah tanah kota ini!

      Syukurlah, tapi kita harus ke mana sekarang?

      Aku tidak tahu. Kalau terus berjalan mungkin kita akan sampai ke luar kota

      Ketiga orang itu pun tiba di persimpangan. Terowongan di sebelah kiri dan kanan mereka merupakan pipa air bawah tanah yang airnya berarus cukup deras dan di depan mereka terbentang terowongan yang tidak dialiri air.

      Kita masuk ke terowongan yang mana? tanya Petra pada Vessica.

      Sepertinya kita harus mengikuti arah aliran air, karena tujuan akhir saluran air ini adalah sungai di batas luar kota, jawab Vessica.

      Masih menutup lubang hidungnya, Petra mengangguk dan mulai melangkahkan kaki untuk berjalan menyusuri pipa air bawah tanah bersama dua orang lainnya. Mereka terus berjalan dengan pikiran yang tidak menentu. Mereka tidak tahu apakah mereka bisa sampai pada tujuan atau tidak.

      Tiba-tiba langkah mereka terhenti oleh guncangan hebat. Terdengar suara gemuruh dari kejauhan. Setelah guncangan itu mereda, terdengar suara misterius, seperti suara rintihan orang.

      Dengan berani, Petra mendekati sumber bunyi perlahan-lahan. Rintihan itu makin terdengar jelas. Didengar dari frekuensinya, pastilah itu suara pria dewasa.

      Dengan senter Vessica, Petra mendapati bahwa bagian pipa di depannya telah rusak berat. Puing-puing bangunan dari atas menembus permukaan tanah dan jatuh  menimbun pipa saluran. Di bawah tumpukan puing-puing, terbaring seorang lelaki setengah baya yang merintih-rintih kesakitan. Dia mengenakan kacamata. Badannya yang berlapiskan kemeja bercorak kotak-kotak tampak tertimpa tumpukan puing-puing itu, dan tangannya tampak menggenggam sebuah tongkat hitam yang biasa digunakan oleh kakek-kakek dan nenek-nenek.

      Ada orang di sana? rintihnya, mengharapkan jawaban dan bantuan secepatnya.

      Ah, gumam Petra. Dia memutar pandangan ke belakang. Vessica, bantu aku! Ada orang tertimpa!

      Vessica pun mengangguk dan mendekati Petra. Kemudian mereka berdua mendekati lelaki setengah baya itu dan menolongnya untuk terbebas dari tumpukan puing-puing bangunan.

      Setelah diselamatkan, lelaki setengah baya itu duduk bersandar di dinding pipa. Dia pun mulai berkata sesuatu.

      Terima kasih, Anak Muda, katanya, masih sedikit merintih. Namaku Lordos[7]. Senang bisa bertemu kalian.

      Sama-sama, balas Petra. Namaku Petra, ini Vessica, dan anak ini Zea.

      Oh, begitu. Ngomong-ngomong, kalian ingin ke mana?

      Kami sedang mencari jalan keluar dari kota ini. Bapak biar kubantu untuk keluar dari sini. Vessica!

      Kenapa? sahut Vessica.

      Kau bawa obat-obatan atau semacamnya?

      Tentu saja! Vessica mulai mendekati Lordos dan mengobati luka-lukanya.

      Kemudian Petra meminta Vessica untuk membantunya menyingkirkan tumpukan puing-puing bangunan, agar jalan mereka terbuka. Mereka berdua pun berusaha bersama-sama untuk membuka jalan yang tertutup. Akhirnya setelah beberapa lama, mereka berhasil melakukannya.

      Vessica mendekati Lordos dan berniat untuk membantunya berdiri dan berjalan.

      Bapak bisa berdiri? tanya Vessica. Biar kubantu.

      Vessica mulai menarik lengan Lordos sampai berdiri, kemudian memapahnya bersama-sama Petra. Mereka lalu berjalan perlahan menyusuri pipa saluran, diikuti oleh Zea yang sejak tadi hanya menonton segala adegan yang berlangsung.

      Dalam papahan kedua anak muda itu, Lordos mulai bercerita.

      Istri dan anak-anakku tewas semua. Akulah satu-satunya yang berhasil selamat. Ini semua karena keegoisanku. Aku tidak menolong mereka ketika mereka sedang terjebak dalam mobil yang kuncinya rusak. Saat itu, yang kupikirkan hanyalah keselamatan diriku sendiri. Akibatnya, sebuah gedung tua meremukkan mobil itu, dan

      Lordos terisak sedih. Petra dan Vessica menyimak baik-baik kisah Lordos. Mereka turut bersedih.

      Seandainya saja aku sedikit lebih peka terhadap orang-orang di sekitarku, pasti ini tidak akan terjadi. Uang. Uanglah yang telah merenggut segalanya. Dulu, aku adalah seorang pesuruh miskin. Suatu hari, keajaiban datang. Seorang direktur perusahaan yang kaya menawariku untuk bertukar peran dengannya. Saat itu, yang ada dalam benakku hanyalah peningkatan taraf hidupku yang rendah. Maka tanpa memikirkan maksud si pengusaha, aku menerima tawarannya tanpa ragu-ragu. Aku pun menjadi seorang pengusaha yang sukses. Aku kaya raya, aku menyelesaikan semua masalah dengan uang, dan perlahan-lahan aku mulai melupakan keluargaku. Aku mulai melupakan saudara-saudaraku, aku mulai melupakan kerabat-kerabatku, aku mulai melupakan Tuhan, aku mulai melupakan segala-galanya kecuali uang dan harta kekayaan! Namun insiden ini merupakan pelajaran yang berharga bagiku. Insiden ini telah menyadarkanku, bahwa masih banyak hal lain yang jauh lebih penting daripada uang.

      Lordos terdiam selama beberapa saat. Kemudian Vessica mulai memecah keheningan.

      Bapak masih beruntung, katanya. Bapak masih diberikan kesempatan untuk hidup lebih lama dan memanfaatkan hidup Bapak sebaik-baiknya.

      Apalah artinya aku hidup lebih lama? Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, dan aku tidak akan berguna bagi siapa-siapa. Aku hanya akan menyusahkan orang-orang di sekelilingku.

      Siapa bilang? bantah Vessica. Semua orang pasti akan berguna. Tidak ada satu pun manusia yang tercipta dengan sia-sia, Pak.

      Lordos tidak bisa berkata apa-apa lagi. Selanjutnya, dia hanya membisu sampai akhirnya mereka tiba di tempat tujuan.

      Pipa raksasa itu bermuara di pengerasan tebing sungai. Keempat orang itu keluar dari pipa dan berpijak pada hamparan rumput di tepi aliran sungai-yang-tidak-begitu-lebar. Mereka lalu mendaki pengerasan tebing sungai dan memandang hamparan rumput luas yang membentang dari seberang sungai sampai garis cakrawala timur yang jauh.

      Langit timur yang hitam kelam sudah mulai terang, digantikan oleh langit ungu dan jingga. Keempat orang itu pun menyongsong fajar yang indah itu. Kemudian, matahari mulai menampakkan dirinya dari balik garis cakrawala dan bergerak naik. Malam telah berlalu dan pagi telah datang.

      Setidaknya kita sudah aman sekarang, kata Petra seraya menghembuskan napas lega. Sekarang apa yang sebaiknya kita lakukan?

      Bagaimana kalau ke rumahku? usul Vessica.

      Boleh juga, tanggap Petra.

      Semuanya pun setuju. Mereka berjalan menyusuri tebing sungai dan sampai pada sebuah permukiman yang letaknya cukup jauh dari gerbang kota. Namun tak ada tanda-tanda kehidupan di situ. Tak ada kendaraan yang berlalu-lalang, apalagi manusia. Keadaannya benar-benar sunyi.

      Kenapa ini? Apa yang terjadi? kata Vessica panik sekaligus heran.

      Mungkin mereka bersembunyi karena takut, kata Petra untuk menenangkannya. Periksa saja dulu rumahmu.

      Vessica mulai berjalan paling depan dengan langkah gontai. Sepertinya dia khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu pada keluarganya. Petra terpaksa memapah Lordos sendirian, sementara Zea mengikuti.

      Setelah berjalan agak lama, mereka sampai di depan sebuah rumah bertingkat dua yang cukup besar namun sederhana. Inilah kediaman Vessica.

      Vessica membuka jeruji pagar dan memasuki halaman depan. Dia mendekati pintu masuk dan menekan bel. Sepertinya dia mengira bahwa pintu rumahnya terkunci, namun setelah dia menggerakkan gagang pintu rumahnya, dia pun sadar bahwa pintu rumahnya tidak terkunci.

      Dengan penuh kekhawatiran, Vessica masuk, melangkah sedikit, kemudian memanggil-manggil.

      Mama! panggilnya. Tak ada jawaban. Papa! Tak ada jawaban. Mbak! Tak ada jawaban juga. Akhirnya Vessica mencari-cari ke seluruh bagian rumah, dibantu oleh Petra dan Zea. Malangnya, tak ada siapa-siapa di rumah itu. Rumah itu benar-benar kosong. Vessica pun membuka tasnya dan mencari-cari ponselnya. Setelah ketemu, dia menelepon ibunya. Namun ponsel ibunya sedang dimatikan. Begitu juga dengan ayahnya.

      Vessica pun terduduk di kursi yang tidak begitu jauh dari pintu rumah. Dia tampak murung dan sepertinya mau menangis.

      Pasti mereka sedang pergi, kata Petra menghibur Vessica. Coba kita periksa rumah yang lain.

      Petra meminta Lordos untuk tetap di rumah Vessica, sedangkan dia dan dua orang lainnya pergi untuk memeriksa rumah-rumah lainnya.

      Dan setelah beberapa lama mencari, mereka belum menemukan satu rumah pun yang mempunyai tanda-tanda kehidupan. Mereka pun kembali ke rumah Vessica.

      Aneh, kata Vessica ingin menangis saking paniknya, baru pertama kali terjadi hal seperti ini.

      Petra, Zea, dan Lordos pun berusaha menghibur Vessica. Berbeda dengan Zea, Vessica lebih mudah terhibur. Dia pun mengajak ketiga orang lainnya untuk makan dan beristirahat di rumahnya.

      Selesai makan, Petra bertanya pada Vessica, Ngomong-ngomong, di dekat kota ini apa ada desa atau kota lain?

      Setahuku, kota ini adalah satu-satunya tempat yang dihuni manusia di dataran rendah ini. Tapi ada sebuah desa yang terletak cukup jauh dari sini. Desa Phytus namanya. Butuh waktu sehari penuh untuk sampai ke sana.

      Ah! celetuk Zea. Itu desa tempat abangku berada! Eh?

      Mendadak Zea terbelalak. Sepertinya dia mulai teringat sesuatu yang sangat penting yang tanpa sadar telah terlupakan sejak tadi.

      Aabangku tidak mungkin! lanjut Zea.

      Kenapa abangmu, Zea? tanya Petra penasaran.

      Abangku tidak mungkin membunuh mama dan papa! Tidak mungkin. Abangku bukan pembunuh!

      Memang, menurut pernyataan ibu Zea sebelum menghembuskan napas terakhirnya, abang Zea-lah yang telah membunuhnya beserta suami.

      Kalau begitu, kita harus ke Desa Phytus secepatnya! kata Petra. Vessica, kau ada kendaraan, kan?

      Ada, sahut Vessica. Ayo, kita berangkat sekarang!

      Mereka berempat berjalan menuju garasi dan masuk ke sebuah mobil sedan mengkilat yang tampak masih sangat baru. Yang mengemudi adalah Petra, dan Vessica duduk di sebelahnya. Di belakang mereka, duduk Zea dan Lordos.

      Petra pun mulai memindahkan tuas dari gigi netral ke gigi 1, kemudian menginjak pedal gas. Mobil keluar dari garasi mobil dan melaju di jalan kompleks perumahan Vessica. Tak lama kemudian, mobil keluar dari kompleks dan sampai di jalan kosong antarkota yang membelah dataran berumput yang sangat luas dan seakan tanpa batas.

      Memangnya seberapa jauh desa itu? tanya Petra dengan tidak sabar sambil terus memandang depan, meski tak ada satu kendaraan pun yang lewat selain mobil itu.

      Jauh sekali, jawab Vessica dengan yakin, mungkin kita akan tiba tengah malam. Nanti kita akan masuk ke dalam hutan selama beberapa lama, lalu kita harus menyeberang danau dengan kapal, dan terakhir kita harus berjalan selama beberapa jam.

      Ampun. Kenapa manusia harus hidup berjauhan begini?

      Itu karena pada zaman dahulu mereka berperang. Pihak yang kalah perang mengasingkan diri jauh-jauh dan membentuk Desa Phytus, dan yang menang juga mengasingkan diri jauh-jauh dan membentuk kota itu.

      Oh iya, apa nama kota itu?

      Kota Victorus[8]. Kota itu berkembang sangat pesat karena ternyata banyak orang-orang Phytus yang berurbanisasi dan menetap di sana.

      Kau pernah ke Desa Phytus sebelum ini?

      Tidak. Lagipula tidak ada orang yang mau pergi ke sana

      Kecuali abangku dan Cervus. gumam Zea dengan tiba-tiba. Mereka pergi ke Desa Phytus untuk melakukan suatu penelitian yang tidak jelas dan sangat rahasia. Setahun telah berlalu, tapi mereka belum pulang juga.

      Apa orang tuamu tidak khawatir dan menyusulnya ke sana? tanya Vessica heran.

      Orang tuaku sama sekali tidak peduli pada anak-anaknya. Mereka terus bertengkar dan bertengkar, bahkan mereka tidak ingat kalau abangku pergi ke Desa Phytus.

      Zea tampak sangat murung. Dia sangat tidak mengharapkan kalau kata-kata terakhir ibunya adalah benar. Dia juga berharap bisa secepatnya keluar dari mimpi buruk ini.

      Siangnya, mobil memasuki hutan. Vessica, Zea, dan Lordos terlelap karena kelelahan. Hanya Petra yang masih segar dan tetap terjaga. Setelah agak lama menerobos hutan, mendadak Petra merasa kepalanya sakit. Makin lama makin sakit. Akhirnya sakit kepalanya memuncak dan sedetik kemudian ia tak sadarkan diri lagi.

 

***

 

      Mobil masih terus melaju di jalan tengah hutan. Zea terjaga dari tidurnya, sementara Vessica dan Lordos masih terlelap.

      Abang Petra, sapa Zea dengan suara yang lemas, masih jauhkah?

      Zea? Apa yang kaulakukan di sini? Terdengar suara agak parau dari depan.

      Aabang Petra? Maksud Abang?

      Petra? Kau salah orang, Zea. Aku Cervus.

      Zea tampak sangat terkejut.

      Aabang bergurau! Abang kan Petra!

      Tiba-tiba Vessica dan Lordos terbangun.

      Ada apa Zea? tanya Vessica penasaran.

      Abang Petra mengakui bahwa dirinya Cervus! seru Zea tak percaya.

      Petra, apa kau tak punya gurauan yang lebih lucu? ledek Vessica.

      Maksud kalian apa? balas suara agak parau itu diiringi sebuah kepala yang berputar sedikit untuk memandang ke belakang.

      Vessica terkejut mendengar suara Petra yang sama sekali lain dengan suara Petra yang biasanya. Bukan hanya itu, sorot matanya juga jauh berbeda. Sorot matanya terlihat licik. Vessica pun terdiam untuk beberapa lama.

      Zea, lanjut suara itu. Cervus kembali mengalihkan pandangannya ke depan, ada hal gawat yang harus kuceritakan.

      Aapa? tanggap Zea dengan gugup.

      Mengenai Kota Victorus. Abangmu akan segera menghancurkan kota itu. Dia akan melakukannya dari Desa Phytus.

      Terlambat. Kota itu telah hancur.

      Apa!? Cervus tampak terkejut. Dia tampak tidak percaya akan kata-kata Zea itu. Kapan!?

      Mulai hancur sejak tadi malam. Sekarang sudah benar-benar hancur

      Sial! Seandainya saja aku sedikit lebih cepat. Sekarang kita sedang menuju ke mana?

      Ke Desa Phytus, untuk menemui abangku.

      Menemui abangmu? Memangnya kau sudah tahu kalau dia yang melakukan semua ini?

      Tidak. Yang aku tahu, abangku telah membunuh mama dan papa.

      Apa!? Jajadi orang tuamu sudah

      Zea menunduk dan terdiam murung.

      Maafkan aku, Zea. Aku tidak sempat menyelamatkan kota Victorus dan orang tuamu. Itu semua karena ketika dalam perjalanan menuju kota itu, kepalaku sakit, dan tiba-tiba saja aku mendapati diriku berada di dalam mobil ini.

      Aku tahu! seru Vessica dengan tiba-tiba. Sejak kepalamu sakit, jiwa Petra muncul dalam dirimu. Dengan kata lain, kau punya dua kepribadian!

      Apa!? Dua kepribadian!? Aku!?

      Benar. Sebelum aku tidur, kau adalah Petra. Dan sekarang, kau adalah Cervus.

      Tidak masuk akal! Tapi kalau benar, berarti Petra telah membuatku terlambat memberitahukan rencana jahat abang Zea pada penduduk Kota Victorus. Aku tidak akan membiarkan dia menguasai ragaku lagi!

      Lordos yang sejak tadi hanya terdiam karena tidak mengerti sama sekali apa yang sedang dibicarakan bertanya-tanya pada Vessica. Vessica pun menceritakan segalanya kepada Lordos.

      Kemudian, Cervus berkenalan dengan Vessica dan Lordos. Kini dia tahu akan pertemuan Petra dengan Vessica, dengan Zea, dan dengan Lordos, serta segala sesuatu yang telah mereka lalui bersama.

 

***

 

      Sorenya, mobil keluar dari hutan dan sampai pada danau yang sangat luas dan seakan tanpa batas. Bagian seberang danau tidak tampak karena kabut tebal menyelubungi seluruh permukaan danau.

      Cervus, Vessica, Zea, dan Lordos pun turun dari mobil dan berjalan ke ujung dermaga tempat sebuah kapal kecil ditambatkan.

      Di seberang danau ini, gumam Zea, abangku berada

      Kita akan sampai malam ini juga, kata Cervus. Ayo naik!

      Keempat orang itu pun berjalan di atas jembatan titian antara dermaga dengan kapal dan menjejakkan kaki mereka di atas kapal itu. Kapal itu hanya memiliki satu kamar yang cukup besar untuk mereka berempat. Tak ada penumpang lain. Tak ada nakhoda. Mereka harus mengemudikan kapal itu sendiri.

      Cervus berjalan menuju ruang kendali dan menghidupkan mesin kapal, sementara yang lainnya beristirahat di kamar. Setelah mengotak-atik sistem kemudi, Cervus bergabung dengan yang lainnya.

      Dia menyalakan lampu kamar dan menutup pintu agar kabut-kabut dingin tidak masuk ke dalam. Kemudian dia duduk di samping pintu.

      Kita harus punya persiapan untuk menghadapi musuh, mulai Cervus. Kita harus melawannya.

      Seberapa kuatkah musuh kita nanti? tanya Vessica gemetaran. Apa kita bisa melawannya?

      Itu tergantung kekuatan kita, jawab Cervus. Senjata yang aku punya hanya pistol ini.

      Cervus mengeluarkan sepucuk pistol yang tersembunyi dari balik kaosnya.

      Aaku punya pisau ini. Vessica mengeluarkan sebilah pisau kecil dari dalam tasnya dengan gemetar.

      Kau, Zea? Cervus sekarang mengalihkan pandangannya ke arah Zea.

      Cervus! seru Vessica. Dia masih kecil! Jangan libatkan dia!

      Dia harus ikut membantu, balas Cervus, meskipun dia masih kecil. Kalau tidak, dia hanya akan menjadi beban.

      Cervus

      Tidak apa-apa, kok. gumam Zea tiba-tiba. Aku pasti akan membantu, bagaimana pun caranya.

      Bagus, kata Cervus dengan sorot matanya yang terlihat lebih licik dan jahat. Sekarang, apa yang kaupunya, Zea?

      Aku aku tak punya apa-apa, Bang

      Cervus mendengus.

      Bukan maksudku untuk tidak membawa apa-apa Zea cepat-cepat menambahkan. Tetapi tampaknya Cervus tidak peduli.

      Gunakan ini, kata Cervus dingin. Dia menyerahkan sebuah granat kecil kepada Zea. Kau bisa menggunakannya, kan?

      Iya, Bang, jawab Zea murung. Vessica tampak sangat marah dengan niat Cervus untuk mengikutsertakan Zea, namun sepertinya dia tidak berani untuk melampiaskannya.

      Sekarang giliranmu, Lordos, kata Cervus sambil memandang Lordos. Apa yang kaubawa?

      Mungkin aku bisa menggunakan tongkat ini, balas Lordos dengan mantap, menunjukkan tongkat hitam yang selalu dibawanya.

      Sempurna, kata Cervus. Senyuman licik terlukis di wajahnya yang jahat. Dia pun berdiri, membuka pintu, keluar, dan menutup pintu itu kembali.

      Sementara Cervus berada di luar, Vessica bertanya-tanya pada Zea.

      Apakah Cervus memang seperti itu sejak dulu? bisik Vessica.

      Iya, Mbak. Zea balas berbisik. Abang Cervus memang terlihat jahat, tapi sebenarnya dia baik sekali. Dulu, dia sering menolongku ketika aku sedang kesulitan. Tapi lama-kelamaan, bantuan-bantuannya membuatku jadi manja. Dia menyadarinya, dan akhirnya sejak saat itu dia langsung membimbingku agar menjadi orang yang kuat dan tegar. Contohnya tadi, dia bermaksud melibatkanku untuk melawan musuh nanti.

      Tapi aku tidak percaya kalau dia baik.

      Mbak lihat saja nanti. Sisi baiknya pasti akan terlihat.

      Semoga saja. Oh iya, Pak Lordos, apa pendapat Bapak mengenai Cervus?

      Dia orang yang sigap dan penuh dengan persiapan, jawab Lordos, meskipun agak mengerikan

      Betul! Coba dia sedikit lebih ramah! Vessica berseru dengan suara yang keras, cukup keras untuk bisa didengar Cervus di luar.

      Ssst! desis Zea. Jangan keras-keras, Mbak! Nanti abang Cervus dengar!

      Vessica langsung menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. Dia lupa bahwa Cervus berada tidak jauh dari mereka. Dan untunglah Cervus tidak memasuki kamar itu.

      Ketiga orang yang berada di kamar pun memutuskan untuk tidur lagi. Mereka harus mengumpulkan tenaga untuk menghadapi kejadian selanjutnya yang lebih menantang.

      Sementara itu, Cervus sedang merenung di dalam ruang kendali. Dia memandang permukaan danau di depan melalui kaca besar. Pikirannya terfokus pada perkataan Vessica yang tidak sengaja terdengar olehnya: coba dia sedikit lebih ramah! coba dia sedikit lebih ramah! coba dia sedikit lebih ramah! Kalimat itu terus-menerus menggema di dalam pikirannya. Lama-kelamaan, kepalanya menjadi sakit dan tangannya mengacak-acak rambutnya karena terlalu pusing.

 

***

 

      Kapal masih terus membelah air danau empat jam kemudian. Malam telah datang sejak dua jam yang lalu. Suasana di permukaan danau benar-benar gelap dan mencekam, meskipun bagian depan kapal menyorotkan cahaya lampu yang cukup menyilaukan.

      Vessica, Zea, dan Lordos terbangun setelah mendengar suara gaduh dari depan. Mereka langsung membuka pintu kamar dan keluar menuju dek kapal.

      Apa yang mereka lihat di dek bagian depan kapal benar-benar mengejutkan. Makhluk besar berbentuk seperti ikan, namun memiliki tangan dan kaki, terbaring. Darah merahnya mengalir menggenangi dek kapal. Di sebelahnya, Cervus yang tampak berkeringat berdiri memandang makhluk itu, mengunci pistolnya, dan menyimpannya kembali di balik kaosnya.

      Kau yang tembak? tanya Vessica tak percaya.

      Ya, jawab Cervus, butuh beberapa tembakan untuk melumpuhkannya.

      Ngomong-ngomong, makhluk ini berasal dari mana? Kenapa dia bisa ada di sini?

      Dia adalah penghuni dasar danau ini. Aku tak pernah tahu kalau dia suka menyerang kapal-kapal yang lewat. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres.

      Jajangan-jangan dia dikontrol abang Zea!?

      Mungkin saja. Abang Zea punya banyak keahlian-keahlian mengerikan.

      Benarkah? gumam Zea, lebih murung dari biasanya. Padahal dulu abangku adalah orang yang baik. Kenapa dia bisa jadi begitu?

      Aku tak tahu pasti, Zea, balas Cervus dengan iba, tapi sepertinya dia kekurangan kasih sayang orang tua. Dia selalu berusaha menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri, sehingga dia tumbuh menjadi orang yang hebat dan penuh dengan kekuatan tersembunyi. Dan akhirnya, dia berniat untuk membalas dendam pada orang tuanya dengan menggunakan kekuatannya.

      Kalau memang dia dendam pada orang tuanya, kenapa harus satu kota yang menjadi korban? tanya Vessica heran. Dia tampak kesal.

      Entahlah, balas Cervus, tapi sepertinya dia tidak ingin membunuh orang tuanya secara langsung. Dia tidak ingin orang tuanya tahu bahwa yang membunuh mereka adalah anaknya sendiri.

      Dan jangan-jangan, hilangnya seluruh orang di perumahanku juga karena abang Zea?

      Sangat mungkin. Cervus mengucapkan itu sambil berjalan meninggalkan ketiga orang lainnya. Dia masuk ke dalam ruang kendali dan mengatur-atur sistem pengendalian kapal itu, karena sebentar lagi kapal itu akan merapat di dermaga tujuan.

      Kapal pun merapat di dermaga. Cervus, Vessica, Zea, dan Lordos turun dari kapal dan berjalan pelan menerobos semak-semak yang gelap. Vessica menyalakan senternya agar mereka bisa berjalan dengan lebih aman.

      Setelah beberapa lama berjalan menerobos semak-semak, mereka tiba di hutan yang ditumbuhi pepohonan yang sejenis. Kabut tipis tampak menyelimuti hutan itu. Suhu di situ benar-benar dingin.

      Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan. Terdengar suara Zea yang merintih kesakitan. Perjalanan terhenti sejenak.

      Kenapa, Zea? tanya Vessica khawatir.

      Kakiku sakit keluh Zea.

      Vessica cepat-cepat memeriksa telapak kaki Zea. Telapak kakinya penuh dengan luka goresan. Beberapa di antaranya masih mengeluarkan darah.

      Astaga, kata Vessica. Maafkan aku Zea. Aku sama sekali tidak sadar kalau sejak kemarin kau tidak pakai alas kaki. Biar kubersihkan lukamu.

      Dengan tergesa-gesa, Vessica mengeluarkan tisu dari tasnya dan mengusap-usapkannya pada telapak kaki Zea.

      Pakailah sepatuku, katanya, meskipun sepertinya kebesaran.

      Tapi nanti Mbak bagaimana? sangkal Zea.

      Tidak apa-apa. Kakiku kebal, tahan luka. Vessica melepas sepatunya, memakaikannya pada Zea, kemudian memandang Cervus dan Lordos yang sejak tadi tak sabar menunggu di depan. Ayo kita lanjutkan perjalanannya!

      Cervus dan Lordos mengangguk. Mereka berempat pun kembali berjalan. Menit demi menit berlalu, dan kini mereka telah berjalan dari danau selama lebih dari tiga jam.

      Sepertinya kita sudah sampai, gumam Cervus.

      Memang benar. Mereka telah sampai di gerbang yang terletak di batas luar Desa Phytus. Dari gerbang itu, penampakan Desa Phytus bisa terlihat dengan jelas. Rumah-rumah beton berukuran sedang tersebar di sana-sini dan terkelompok membentuk sebuah jalan di tengah. Jalan di desa itu dilapisi batu-batu kecil yang tak teratur. Pohon-pohon tampak menyelingi rumah-rumah di tepi jalan. Desa itu cukup gelap. Tak ada satu pun penerangan di desa itu selain cahaya senter Vessica dan cahaya bulan.

      Di mana abangku berada? tanya Zea dengan cemas.

      Rumahnya di sana, jawab Cervus sambil menunjuk sebuah rumah yang agak jauh dari situ. Rumah itu terlihat sama seperti rumah-rumah yang lainnya.

     Mereka berempat pun berjalan menuju rumah itu. Ketika Cervus akan membuka pintu depan rumah, pintu itu terbuka dengan sendirinya. Cervus memasuki rumah itu dengan langkah yang hati-hati. Tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh sesuatu.

      Kau mencariku? Terdengar suara yang agak kasar namun tenang.



[1] Nama Vessica diambil dari istilah biologi Vessica Urinaria, yang berarti kantung kemih.

[2] Nama Petra diambil dari Petra Jaya, sebuah area perindustrian di kota Kuching, Sarawak, Malaysia.

[3] Cervus adalah nama ilmiah untuk rusa dan hewan sejenisnya yang bermarga sama.

[4] Phytus merupakan bahasa latin dari tumbuhan.

[5] Zea diambil dari nama ilmiah tanaman jagung, Zea mays.

[6] Jumlah kemungkinan ini bisa dihitung dengan menggunakan rumus permutasi, dalam hal ini adalah 36P10, atau bisa dijabarkan menjadi 36!/(36-10)! 10! (Tanda seru berarti faktorial, yaitu pengalian suatu bilangan dengan bilangan sebelum dan sebelumnya sampai 1, misalnya 4!=4x3x2x1).

[7] Nama Lordos diambil dari istilah biologi Lordosis, yaitu kelainan tulang belakang yang melengkung ke depan.

[8] Nama Victorus diambil dari kata victory yang berarti kemenangan.


Enter supporting content here