CERITA-CERITA MENARIK KARANGAN CHUUI
Awal
Kabar
Tentang CHUUI
Cerita 1
Cerita 2
Cerita 3
Cerita 4
Cerita 5
Cerita 6
Cerita 7
Cerita 8
Cerita 9
Cerita 10
Cerita 11
Cerita 12
Cerita 13
Cerita 14
Cerita 15
Cerita 16
Cerita 18
Cerita Belum Selesai #1
Cerita Belum Selesai #2
Cerita Belum Selesai #3
Cerita Belum Selesai #4
Cerita Belum Selesai #5
Cerita Belum Selesai #6
Cerita Belum Selesai #7
Penyesalanku

Cerita Kedelapan Belas

              Sekujur tubuhku terasa sakit. Sakit sekali. Darahku yang merah berkilau tertimpa cahaya matahari berceceran dan mengalir menggenangi aspal yang hitam. Aku merasa sepertinya ajalku sudah dekat.

              Kulihat orang-orang datang mendekat. Mereka semua ribut melihatku. Ada yang berwajah simpatik, ada yang sedih, ada yang takut, ada yang jijik, dan ada yang senang karena berhasil melihat kejadian yang spektakuler atau mendapatkan bahan berita yang bagus. Namun aku tidak butuh semua itu. Apalah gunanya mereka bagiku. Mereka tak akan bisa membantuku untuk menghilangkan rasa sakit yang sangat menyiksa ini.

              Sesaat kemudian, terdengar bunyi sirene ambulans yang mendengung-dengung memekakkan telingaku. Suaranya yang bising itu menggema di lokasi kejadian, menandakan bahwa sekarang sedang terjadi kecelakaan yang memakan korban, entah itu korban jiwa atau korban luka-luka.

              Sementara itu, aku masih tergeletak di aspal sambil mengerang-erang kesakitan. Sesaat aku mendengar teriakan para petugas medis yang panik, Minggir, minggir! Kerumunan orang-orang terbelah, dan jalan yang akan dilalui para petugas medis pun terbuka. Tak lama kemudian, badanku diangkat oleh orang-orang itu dan diletakkan di atas tandu. Mereka menggiring tandu itu cepat-cepat menuju ambulans. Meskipun sebenarnya mereka bermaksud untuk menyelamatkanku, penderitaanku tidak berkurang sedikit pun, bahkan bertambah parah. Mereka tidak hati-hati ketika membawaku menuju ambulans. Kepanikan mereka membuat badanku berguncang-guncang. Badanku semakin sakit saja.

              Karena semuanya berlalu begitu cepat, tiba-tiba saja aku sudah berada di dalam ambulans. Wajah-wajah petugas medis di sekelilingku memperlihatkan rasa simpati yang besar kepadaku. Mereka memintaku agar terus bertahan. Aku pun berusaha mati-matian untuk terus bertahan.

              Ini semua salahku. Andai saja aku menuruti nasihat mama, pasti hal ini tidak akan terjadi. Aku menyesal telah membantah nasihatnya. Sebelumnya, beliau telah mengingatkanku agar membatalkan rencanaku untuk meninggalkan rumah.

              Ketika itu, aku dan teman-teman sekolahku, baik perempuan maupun laki-laki, berencana untuk pergi berwisata di Anyer. Kalau hanya sebatas pergi menginap di luar kota, aku yakin itu masih diperbolehkan. Namun apa yang aku rencanakan bersama teman-teman ini adalah hal yang jelas-jelas dilarangpembunuhan! Sebabnya adalah, aku menyimpan dendam yang besar terhadap seorang guru laki-laki. Dia sebenarnya hanya guru sementara yang menggantikan tugas guru Ekonomi yang sedang cuti menikah, namun kejamnya bukan main! Oleh karena itu, aku pun mengajak teman-temanku untuk menjalankan rencana tersebut.

              Pernah pada suatu pagi, aku dipanggil olehnya ke ruangan yang sepi. Awalnya dia hanya menasihatiku agar aku memperbaiki penampilan diriku yang bajunya sedikit sempit. Tetapi tiba-tiba, dia menunjukkan sebuah gunting. Serta-merta bajuku digunting olehnya sampai terpotong-potong berantakan. Aku pun menangis dan langsung pulang secepatnya. Selain itu, aksi berlebihannya juga pernah diterapkan pada salah seorang temanku. Temanku itu sebenarnya seorang murid laki-laki yang cukup patuh pada peraturan. Namun suatu hari karena suatu hal, ia tidak sengaja melanggar sebuah peraturan yang cukup serius. Hal itu mengundang si guru kejam untuk memaki-maki dan memukulnya. Bukan hanya itu saja, masih banyak kasus-kasus lain yang terjadi dengan si guru kejam sebagai penjahat-nya. Misalnya saja yang paling serius, salah seorang siswi yang merupakan teman jauhku menghilang entah mengapa. Kabarnya, dia dinodai oleh si guru kejam, dan untuk menutupi perbuatan pelaku, ia dibunuh dan mayatnya disembunyikan di suatu tempat. Meski banyak tuduhan dan gugatan yang ditujukan pada si guru kejam, kepala sekolah tetap tidak membebastugaskannya. Rupanya ia yakin bahwa hilangnya siswi secara misterius itu bukan perbuatan si guru kejam. Murid-murid pun banyak yang protes, namun sekolah tidak menanggapi.

              Sampai saat ini, aku dan semua teman-teman dekatku pernah menjadi korban si guru kejam. Guru itu melakukan aksinya tanpa pandang bulu. Perempuan, laki-laki, peralihan, kaya, miskin, cakep, jelek, semua dianggapnya sama. Akhirnya, murid-murid sekolahku harus selalu waspada terhadap bahaya yang akan timbul dari si guru kejam.

              Pada hari keberangkatan, teman-teman berkumpul di rumahku sebelum berangkat ke Anyer. Salah seorang teman perempuanku yang bernama Fiona menghampiriku dan berkata dengan ekspresi khawatir, Rena, apa nggak apa-apa kalo kita tetep ngejalanin rencana ini?

              Nggak apa-apalah... biarin aja, bukan kita yang salah ini, balasku ringan.

              Tapi elo nggak mikirin akibatnya. Itu kan dosa! Selain itu kalo ketahuan gimana? Menurut gue mendingan kita batalin aja deh, meskipun gue juga kesel sering disiksa ama tuh guru.

              Batalin? kataku tak percaya. Kita udah lama-lama nyiapin rencananya, terus batal begitu aja?

              Abis mau gimana lagi? Gue nggak berani...

              Ah, pengecut! Aku menjadi kesal pada Fiona. Kalo nggak berani ya udah, nggak usah ikut!

              Fiona terdiam. Sepertinya dia tersinggung karena ucapanku, tetapi biarkan sajalah! Nanti dia juga akan kembali seperti sebelumnya.

              Sementara itu, temanku yang bernama Leon datang mendekat.

              Rena, katanya kepadaku dengan wajah agak gelisah, kikita berangkatnya kapan?

              Sebentar lagi, jawabku. Elo kenapa sih? Kok gelisah gitu?

              Tiba-tiba Leon memasang wajah cerianya yang dipaksakan. Sepertinya dia menyembunyikan kegelisahannya dariku.

              He nggak kok... balasnya, kemudian pergi menjauh.

              Aku tahu, memang banyak teman-teman yang sebenarnya tidak begitu setuju untuk menjalankan rencana inijelas saja, pembunuhan!tetapi bukankah mereka semua juga menyimpan dendam yang besar terhadap guru kejam itu? Ataukah... memang aku yang sudah tidak mempunyai hati lagi? Namun... tidak! Bagaimana pun aku harus tetap menjalankan rencana ini! Aku sudah bertekad!

              Segera saja aku mengumumkan kepada teman-teman bahwa sekarang semuanya sudah harus berangkat. Setelah memasukkan barang-barang bawaan ke dalam mobil, aku pamit kepada mamahanya kepada mama, karena kebetulan saat itu papa sedang berada di kantor.

              Semua teman-temanku kecuali Fiona sudah berada di dalam mobil. Ketika aku berjalan untuk masuk ke dalam mobil, tiba-tiba mama bertanya kepadaku, Rena, kamu semua mau ngapain sih di sana?

              Itu... ya biasalah; berenang, makan, tidurkayak liburan biasalah, jawabku.

              Bener nih?

              Ehiya...

              Tiba-tiba Fiona dengan bodohnya berseru kepada mama, Nggak, Tante!

              Fiona! seruku panik. Namun Fiona mengabaikanku.

              Tante, saya minta maaf. Sebenernya tujuan utama kita ke Anyer itu buat...

              Fiona! Elo ngomong apa sih!?

              Rena! teriak mama, menyuruhku supaya diam. Buat apa, Fiona?

              Kita ke sana buat... buat... memmembunuh... jawab Fiona.

              Membunuh!? seru mama tidak percaya. Beliau sepertinya mulai naik darah. Membunuh siapa!?

              Guguru, Tante...

              Kalimat terakhir Fiona itu memberikan reaksi yang besar terhadap mama. Aku melihat mama terkejut. Beliau melotot, sepertinya ingin berteriak-teriak marah, namun saking marahnya beliau tidak bisa melampiaskan kemarahannya.

              Segera saja kutarik lengan Fiona dan berlari menuju mobil. Kudengar mama di belakang berteriak-teriak.

              Rena! Sini dulu!

              Nggak, Ma.... Aku nggak bisa. Aku udah bertekad... balasku.

              Rena! Itu dosa besar! Nanti kamu bisa dipenjaraatau mungkin dihukum mati! Mama nggak mau punya anak pembunuh.... Lagipula kamu nggak malu sama orang-orang kalau udah jadi pembunuh!?

              Aku sudah tidak mau lagi mendengar nasihat mama. Kepalaku berputar rasanya. Sebelum mama mencapai mobil, Leon yang menyetir di depan kusuruh menancap gas secepatnya. Namun sepertinya dia ragu-ragu.

              Ngapain sih!? Cepetan! perintahku kepadanya.

              Leon mengiyakan, meskipun agaknya dia tidak mau. Dia mulai menginjak pedal gas dan mobil mulai bergerak perlahan ke depan sebelum mama sampai. Teriakan mama mulai terdengar lagi. Aku tak mau melihat mama di belakang. Aku tak mau niatku dicegah.

              Rena! Berhenti! Rena! Rena!!!

              Namun mobil ini makin menjauh, menuju jalan raya. Akhirnya teriakan mama tidak terdengar lagi.

              Aku merasa sepertinya suasana di dalam mobil sangat tegang. Semuanya diam. Sebagian teman menatapku dengan pandangan tak percaya. Beberapa lama kemudian, Leon memecah kesunyian.

              Rena, kita batalin aja yuk, katanya dengan tenang dan pelan. Tatapannya tetap ke depan karena dia sedang mengemudi. Mendingan kita balik, terus minta maaf sama nyokap elo

              Setelah Leon berbicara, teman-teman yang lain mulai berbicara. Semuanya menyarankan agar rencana ini dibatalkan. Sepertinya sejak tadi mereka ingin menyarankan demikian, namun tidak berani. Dan karena Leon memulai duluan, mereka menjadi berani berbicara. Aku pun membantah.

              Nggak! Pokoknya kita harus tetep ngejalanin rencana ini! Kita udah capek-capek nyusun rencana, masa batal sih? Elo semua juga dendam kan ama tuh guru?

              Iya sih, kata Leon menanggapi, tapi menurut gue rencana kita ini berlebihan! Kita nggak perlu sampe ngebunuh dia kan?

              Abis mau gimana lagi?

              Kan masih banyak cara lain

              Aku terdiam. Memang benar masih banyak cara lain yang lebih baik, tetapi entah mengapa aku belum puas jika guru itu belum lenyap. Aku sangat dendam kepada guru itu! Dia harus menerima balasan yang setimpal atas perbuatannya!

              Kemudian Leon mulai berkata lagi, Gimana? Mau batal?

              Nggak! kataku dengan tegas.

              Astagfirullah Leon memegang dahinya dengan kecewa, istigfar, Rena.

              Begitu Leon menyuruhku beristigfar, tiba-tiba saja aku merasa ada perasaan bersalah pada diriku. Namun sepertinya dendamku lebih berkuasa dibandingkan dengan perasaan bersalah itu. Pada akhirnya dendamlah yang menang.

              Beberapa lama kemudian, aku dan teman-teman sampai di rumah kos si guru. Namun tak ada seorang pun yang mau turun. Kusuruh Leon untuk turun, tetapi dia menolak.

              Ah, pengecut semuanya! kataku. Akhirnya akulah yang turun tangan. Aku turun dari mobil, membanting pintu mobil keras-keras, kemudian langsung menyerbu rumah kos si guru.

              Aku tak gentar, karena aku tahu guru itu hidup sendiri. Begitu bertemu guru itu, aku langsung memukul punggungnya sampai pingsan. Kemudian aku memastikan bahwa dia masih bernapas. Aku tak mau dia mati sekarangnanti aku ketahuan membunuh. Setelah tahu bahwa dia masih hidup, aku menyeretnya menuju mobil. Begitu aku sampai di mobil, teman-teman sangat terkejut.

              Rena! Gila lo! Elo serius!? seru Leon tak percaya.

              Mendingan jangan! Fiona juga ikut-ikutan.

              Namun mereka semua aku abaikan. Guru itu kutempatkan di kabin belakang mobil. Setelah itu aku duduk di tempat dudukku tadi dan menyuruh Leon agar menancap gas lagi.

              Mobil kembali berjalan. Sekarang aku dan teman-teman sedang menuju Anyer. Teman-teman kembali membujukku agar mengurungkan niatku. Karena sejak tadi aku selalu menolak bujukan mereka, akhirnya kali ini mereka mulai kesal kepadaku. Leon yang mewakili seluruh teman-teman pun berkata, Gue ngerti elo emang niat banget ngebunuh guru itu. Ya udah, jalanin aja sana! Tapi jangan ngebawa-bawa kita! Kita semua nggak mau terlibat!

              Leon langsung memarkirkan mobil di tepi jalan raya. Teman-temanku semua turun dari mobil dan berjalan di atas trotoar, menjauh dari mobil. Tinggal aku saja yang masih duduk di dalam mobil. Langsung saja aku keluar dari mobil dan mengejar teman-temanku.

              Woi! Pada mau ke mana!? tanyaku dengan panik.

              Leon dan beberapa orang teman-temanku membalikkan badan dan memandangiku.

              Kita semua nggak mau terlibat, kata Leon dengan tenang. Elo bawa aja tuh mobil sendiri, pokoknya elo kerjain aja sendiri apa yang elo mau!

              Yah, kok gitu sih? kataku heran. Namun tak ada yang mau menanggapiku. Mereka kembali berjalan menjauh. Aku pun mengikuti mereka.

              Setelah kuikuti mereka sekitar beberapa meter, tiba-tiba Leon berhenti berjalan dan kembali memandangku.

              Kok elo ngikutin kita? Katanya mau ngebunuh guru itu?

              Aku pun menunduk dan serta merta air mataku mengalir. Aku tak pernah membayangkan sebelumnya kalau teman-teman akan memusuhiku. Mengapa ini semua bisa terjadi? Padahal aku melakukan ini demi mereka juga, bukan? Tetapi, mengapa mereka malah memusuhiku? Tiba-tiba terlintas di benakku perkataan Leon sebelum ini, ...menurut gue rencana kita ini berlebihan! Kita nggak perlu sampe ngebunuh dia kan?... Kan masih banyak cara lain

              Mendadak aku menyadari bahwa aku telah melakukan suatu kesalahan yang sangat besar. Rencana pembunuhan! Astagfirullhalazim.... Aku terlalu terbawa emosi. Aku tidak berpikir bahwa masih banyak cara lain yang bisa digunakan untuk menangani masalah guru kejam itu. Mengapa aku baru menyadarinya sekarang?

              Tiba-tiba Leon tersenyum ramah kepadaku.

              Sekarang elo sadar kan? katanya. Gimana? Mau batalin rencana ini nggak?

              Tanpa disadari langsung saja aku menjawab ya. Air mataku semakin deras mengalir.

              Maafin gue ya, semuanya... isakku dengan sangat menyesal. Teman-temanku semua tersenyum bahagia karena kini aku telah sadar akan perbuatan bodohku. Kini hatiku menjadi jauh lebih tenang.

              Yuk, balik lagi ke mobil, ajak Fiona kepada aku dan teman-teman. Kemudian aku dan teman-teman bergegas untuk kembali.

              Kemudian aku melihat si guru kejam keluar dari mobil. Sepertinya dia telah siuman. Aku merasa sangat bersalah pada guru itu. Aku harus meminta maaf kepadanya. Namun begitu kudekati, guru itu malah menjauh cepat-cepat. Wajahnya dipenuhi oleh rasa takut. Jangan-jangan dia masih mengira aku akan membunuhnya.

              Pak! Maafin saya, Pak! teriakku seraya mengejarnya. Namun dia terus menjauh ketakutan. Jangan takut, Pak! Saya nggak punya niat lagi untuk mencelakai Bapak!

              Guru itu terus menjauh dariku. Dan untuk menghindar sejauh mungkin dari diriku, dia bersiap untuk menyeberang jalan. Aku sangat khawatir, karena sepertinya dia akan menyeberang dengan tergesa-gesa tanpa melihat arus lalu lintas.

              Dan benar saja. Guru itu menyeberang tanpa memperhatikan sebuah bus berkecepatan tinggi yang sedang melaju tak jauh dari situ. Dalam waktu yang sangat singkat, tak terasa bus itu sudah semakin dekat. Segera saja aku berlari secepatnya ke tengah jalan dan mendorongnya keras-keras agar terhindar dari bahaya. Guru itu pun selamat.

              Aku memang merasa lega untuk sementara waktu, namun aku melupakan suatu hal yang sangat penting. Aku melihat teman-teman di tepi jalan berteriak memanggil namaku. Namun semua sudah terlambat. Kejadian yang sangat tidak diharapkan dan tak pernah terduga sebelumnya pun terjadi. Secepat kilat bus itu sudah berada tepat di depanku. Kejadian selanjutnya berlangsung begitu cepat, sehingga tak terasa, sebelum aku menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi, bus itu menghantamku keras-keras....

              Akhirnya, sekarang aku berada dalam perawatan medis. Aku masih terus menahan rasa sakit yang kurasakan. Tak lama kemudian, tercium bau yang sangat aku bencibau rumah sakit!

              Beberapa saat kemudian, aku mengetahui bahwa aku sedang terbaring di ruang perawatan. Samar-samar terdengar suara dokter dan perawat yang meributkan masalah persediaan darah. Lalu aku disuntik dengan darah, mungkin karena aku kehabisan banyak darah. Tak lama kemudian, terdengar suara-suara yang kukenal. Ternyata mama. Beliau meraung-raung histeris karena kejadian yang menimpa diriku. Kemudian juga terdengar suara laki-laki dan perempuan yang kukenal. Teman-temanku! Aku mendengar Leon, Fiona, dan teman-temannya memintaku untuk terus bertahan.

              Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara seorang pria yang tidak menyenangkan. Rupanya si guru kejam! Di luar dugaan, ternyata dia juga datang menjengukku. Aku menyesalsangat menyesaltelah berencana untuk membunuhnya. Aku benar-benar orang yang kejam, bahkan aku merasa diriku lebih kejam daripada si guru kejam yang kuanggap sebagai orang terkejam yang pernah ketemui selama hidupku ini.

             Mama... gumamku yang mulai kembali terisak, maafin aku ya, Ma.... Aku bener-bener bersalah sama Mama.... Aku nyesel banget, Ma...

              Mama semakin menangis tersedu-sedu.

              Nggak apa-apa kok, Sayang.... Sekarang Mama minta tolong sama kamu.... Berjuang ya... untuk terus hidup...

              Iya, Ma.... Makasih udah nasehatin aku tadi... balasku, kemudian menatap teman-temanku, Leon, Fiona, teman-teman semuanya... gue minta maaf banget.... Makasih udah nyadarin gue...

              Teman-temanku semuanya memaafkan. Ternyata mereka semua orang yang sangat setia kawan kepadaku; mereka meluruskan jalan pikiranku yang tersesat sehingga tidak tersesat lagi. Aku sangat berhutang budi kepada mereka.

              Satu orang lagi yang harus kumintakan maaf adalah guru yang telah kuniatkan untuk membunuhnya.

             Pak... maafin saya ya.... Saya udah bersalah banget sama Bapak.... Meskipun menurut saya Bapak agak kejam, sekarang saya yakin Bapak sebenarnya adalah orang yang baik...

              Nggak... isak guru itu, sayalah yang salah.... Saya memang orang yang kejam... Dan saya merasa sangat berhutang budi sama kamukamu telah menyelamatkan nyawa saya... tetapi malah kamu yang... [hiks!]

              Kemudian, entah mengapa tiba-tiba aku merasa tubuhku sakit lagi, jauh lebih sakit daripada sebelumnya, sampai-sampai badanku menggelepar. Mungkin inilah yang dinamakan sekarat.

              Orang-orang di sekitarku tampak bingung dan panik, terutama mama. Mereka ingin agar aku tetap hidup, tetapi juga ingin agar aku bisa mati dalam keadaan yang baik. Akhirnya, dengan ikhlas mereka menyuruhku untuk mengucapkan kalimat tahlil sampai ajal datang menjemputku, meskipun aku melihat air mata membasahi wajah mereka.

              Aku ingin mengucapkan kalimat tahlil, namun sulit. Sangat sulit. Dalam keadaan seperti ini, hampir mustahil untuk berbicara sepatah kata pun. Aku pun terus berusaha untuk mengucapkan kalimat tahlil, sebisa mungkin. Aku memulainya dari dalam hati, dengan harapan nanti akan terucap di mulut.

              Namun agaknya malaikat Izrail sudah datang. Sepertinya dia mulai mencabut nyawaku. Sakit sekali. Kakiku mulai mati rasa, disusul badanku. Tinggal leherku saja yang masih hidup. Sekali lagi, aku berusaha sekuat tenaga untuk mengucapkan kalimat tahlil. Sesaat sebelum nyawaku benar-benar tercabut, dengan dukungan dari orang-orang di sekitarku, akhirnya dengan susah payah... aku berhasil....

              L... il... haillallh...

 

TAMAT


Enter supporting content here