CERITA-CERITA MENARIK KARANGAN CHUUI
Awal
Kabar
Tentang CHUUI
Cerita 1
Cerita 2
Cerita 3
Cerita 4
Cerita 5
Cerita 6
Cerita 7
Cerita 8
Cerita 9
Cerita 10
Cerita 11
Cerita 12
Cerita 13
Cerita 14
Cerita 15
Cerita 16
Cerita 18
Cerita Belum Selesai #1
Cerita Belum Selesai #2
Cerita Belum Selesai #3
Cerita Belum Selesai #4
Cerita Belum Selesai #5
Cerita Belum Selesai #6
Cerita Belum Selesai #7
ETERNAL TYRANNIA

Cerita Belum/Tidak Selesai #6

Namaku Lucom Syahid Al-Jannah. Aku kurang menyukai nama depanku karena aneh. Tetapi biarlah. Nama adalah pemberian orang tua yang mengandung doa dan harapan. Aku pun harus menerimanya dengan hati yang tulus dan ikhlas. Orang-orang desaku biasa memanggilku Lucom. Meskipun aku kurang suka pada nama itu, aku membiarkan mereka memanggilku begitu. Keren dan sesuai dengan orangnya, menurut mereka.

Saat ini, aku sedang tidak tinggal bersama orang tuaku. Mereka berdua sedang pergi ke kota Jakarta dalam rangka dinasmaklumlah, pegawai negeri. Meskipun tinggal di rumah sendirian, aku sama sekali tidak merasa kesepian karena aku memiliki banyak teman yang meramaikan suasana. Kadang-kadang, mereka menginap di rumahku sekedar untuk bercakap-cakap dan bergadang sampai larut malam.

Aku tinggal di sebuah desa terapung yang aman dan makmur. Desa itu terletak di atas permukaan Laut Jawa, dekat dengan pasangan Pulau Dua Barat dan Pulau Dua Timur yang letaknya paling utara dari Kepulauan Seribu. Desa itu dikelilingi hutan bakau yang cukup lebat dan padang lamun yang luas pada bagian selatan yang dekat dengan daratan. Rumah-rumahnya beratapkan daun rumbia. Jarak antarumah tidak begitu jauh, dan dihubungkan oleh jalan dermaga dari kayu.

Masyarakat pada desaku bermata pencaharian sebagai nelayan. Biasanya para nelayan pergi melayan pada malam hari dan pulang pada esok paginya. Terkadang aku ikut membantu melayan bersama mereka. Rasanya asyik sekali menunggu tertangkapnya ikan di atas perahu sambil menyaksikan indahnya rembulan dan menyantap jagung bakar yang lezat bersama para nelayan.

Rumahku terletak di ujung desapaling jauh dari daratan. Cukup mengasyikkan tinggal di tengah lautan biru yang luas. Meskipun terletak agak jauh dari warga yang lain, aku tetap berinteraksi secara wajar dengan mereka.

Aku memiliki banyak teman dekat yang sebaya denganku. Di antara mereka, yang paling dekat denganku adalah Hopero si polos dan baik hati, Reno si optimistis, Bambang si pencipta keramaian, Rena si pendiam, Ayu si genit, dan Rina si tomboy.

Mungkin kalian heran dengan nama Hopero ataupun Reno. Sebenarnya, mereka berdua bukanlah warga negara Indonesia. Mereka adalah imigran gelap yang terdampar dalam perjalanan dari negara mereka, Filipina, menuju Singapura. Dua tahun yang lalu, kapal yang mereka tumpangi tenggelam di perairan Laut Jawa, dan semua penumpang termasuk orang tua mereka pun tewas. Hanya mereka berdua yang berhasil selamat. Dan anehnya, pihak keimigrasian agaknya tidak bertindak secara tegas dalam mengurus masalah dua orang muslim asal Moro, Filipina ini. Kedua pemuda ini justru dibiarkan hidup bebas dalam wilayah negara Republik Indonesia. Sampai saat ini, Hopero dan Reno tinggal di rumah kosong yang tak jauh dari rumahku.

Selain dua orang itu, empat orang teman dekatku yang lain merupakan penduduk asli Kepulauan Seribu. Bambang, salah satunya, adalah orang yang paling ramai di desa, tapi dia baik padaku. Dia juga sering ribut dengan Rina yang terkenal dengan ke-tomboy-annya. Lalu Rena yang terkenal sebagai anak yang pendiam dan sopan sangat disukai oleh warga desa, lain halnya dengan Ayu yang genit dan sok seksi, yang dianggap menjijikkan oleh warga desa.

Bagaimana pun mereka, aku sangat bahagia bisa berteman dekat dengan mereka. Kami sering bermain bersama-sama, sekolah bersama-sama, berenang di laut bersama-sama, naik perahu di malam hari sambil makan jagung bakar dan menyaksikan indahnya rembulan bersama-sama, dan bertukar pikiran bersama-sama. Segala sesuatu kami lalui bersama-sama. Terkadang anak-anak muda yang lain juga bergabung bersama kami. Pokoknya, aku suka dengan kehidupanku di desa yang menyenangkan ini.

Pada suatu hari liburan sekolah, aku dan teman-teman membicarakan rencana jalan-jalan ke kota untuk membeli barang-barang baru. Di desaku memang ada yang menjual kaos, celana, dan sebagainya, namun sekali-kali kami juga ingin merasakan shopping di kotakecuali Hopero dan Reno yang sudah sangat sering melakukannya di negara asal mereka.

Lucom, elo mau ikut, kan? tanya Bambang kepadaku.

Gue sih tergantung yang laen, jawabku. Yang laen pada mau kan?

Iyalah! jawab teman-temanku serentak.

Kapan? tanyaku penasaran.

Tahun depan, kata Rina agak jengkel dengan kelemahotakanku. Ya hari inilah!

Oh... ya udah....

Setelah itu, kami semua langsung pulang ke rumah masing-masing dan bersiap untuk berangkat. Kami semua berkumpul di lapangan desa, yaitu bagian tengah dermaga yang cukup luas dan biasa dipakai untuk upacara bendera dan pengumuman-pengumuman. Setelah briefing singkat, kami segera melangkahkan kaki menuju daratan Pulau Dua Timur.

Dalam perjalanan singkat menuju daratan, Ayu tak henti-hentinya menggoda Reno. Hal ini membuat Rena mendekatkan genggaman tangan pada mulutnya dan berdeham. Ayu pun berhenti menggoda Reno. Kemudian Bambang dan Rina mulai mengobrol berdua, namun karena adanya sedikit perbedaan pendapat, pembicaraan mereka berubah menjadi pertengkaran. Sementara itu, aku dan Reno hanya tersenyum menyaksikan mereka.

Setelah waktu yang cukup singkat, aku dan teman-temanku pun tiba di daratan Pulau Dua Timur. Dari tepian pulau itu, kami berjalan lagi menuju pelabuhan kapal motor. Fasilitas semacam ini memang sengaja disediakan untuk melayani para turis yang berkunjung. Namun tak ada salahnya, bukan, bila penduduk seperti kami menyewa fasilitas itu.

Setelah membayar biaya perjalanan, kami langsung naik ke kapal. Kapal motor itu lebih mirip troli besar daripada kapal. Penumpang di kapal itu hanya kami bertujuh. Sepertinya arus pariwisata sedang berkurang. Tak lama kemudian, suara motor kapal mulai terdengar. Kapal mulai bergerak menjauhi dermaga, makin lama makin jauh, sampai akhirnya kami benar-benar lepas dari daratan. Lalu kapal mulai melaju kencang.

              Pemandangan bawah laut dangkal di perairan dekat kumpulan Pulau Dua hanya berupa padang lamun yang agak luas. Setelah kapal makin menjauhi daratan, barulah pemandangan bawah laut mulai berganti. Di dasar laut yang masih dangkal, terumbu karang yang berwarna-warni tampak tersebar di sana-sini. Sesekali ikan-ikan yang indah muncul dari balik terumbu karang kemudian bersembunyi lagi di balik terumbu karang yang lain. Pemandangan yang spektakuler seperti ini harus terus dijaga. Selain untuk kepuasan batin, terumbu karang juga harus dilestarikan untuk menjaga kelangsungan ekosistem laut di perairan Kepulauan Seribu.

              Setelah sekitar sepuluh menit kapal membelah lautan, terumbu karang di bawah air sudah tidak terlihat lagi, digantikan oleh birunya air laut yang berkilauan tertimpa cahaya matahari. Bayangan langit yang biru juga terpantul di permukaan air laut.

              Setelah terumbu karang hilang dari pandangan, aku mulai merasa bosan. Aku pun mengajak teman-temanku untuk makan siang. Meskipun tahu bahwa kapal menyediakan makanan seperti cup mie dan minuman seperti air mineral dan minuman ringan, aku tetap membawa makanan dan minuman sebagai persiapan. Oleh karena itu, untuk menghemat pengeluaran, aku dan teman-teman memakan makanan dari dalam tasku. Rupanya mereka tidak membawa makanan sebagai persiapan!

              Setelah selesai makan siang di tengah lautan yang luas itu, mendadak suara mesin kapal berhenti berbunyi. Kapal mulai melambat dan akhirnya berhenti. Aku heran, ada apa ini? Sang nakhoda pun keluar dari ruang kendali dan mengumumkan bahwa ada kerusakan mesin. Dia juga menambahkan bahwa dia akan memanggil kapal penderek yang akan tiba setengah jam kemudian. Tentu saja kami terkejut dengan kejadian ini.

              Kemudian, kapal mulai terombang-ambing di tengah lautan yang luas itu. Hopero, Rena, dan Ayu mulai kelihatan mual. Mereka bertiga memang mudah mabuk laut.

              Waktu sudah lama berlalu, namun kapal penderek tak kunjung tiba. Keadaan selanjutnya makin memburuk. Awan-awan tebal yang hitam dan gelap mendekat dari arah Jakarta. Sepertinya akan turun hujan yang lebat. Kami semua pun berdoa agar kapal penderek segera tiba dan kami semua akan baik-baik saja. Namun sayangnya, hal yang sangat tidak diharapkan bertambah lagi. Tiba-tiba saja sang nakhoda mendapat kabar dari daratan bahwa kapal penderek sedang rusak. Apa yang harus kami lakukan?

              Aduh, gimana nih! keluh Ayu.

              Kita nggak bakal kenapa-kenapa kok, kata Reno menenangkan Ayu, paling cuman kehujanan....

              Iya, betul! seru Rina.

              Semoga aja begitu, kata Rena dengan nada cuek dan santai yang tidak diharapkan oleh teman-temannya. Nada bicara Rena yang agak dingin mengesankan bahwa apa yang terjadi akan berlawanan dengan apa yang diucapkannya. Namun... justru inilah yang aku sukai darinya. Menurutku, Rena adalah wanita yang unik. Aku memang lebih suka jika dia lebih cerewet dan bersikap biasatidak terlalu seriusnamun jika sikapnya berubah, ciri khasnya yang menurutku unik itu juga pasti akan berubah. Kesimpulannya, seperti apa pun Rena, aku tetap menyukainya.

              Sementara itu, awan-awan tebal yang hitam dan gelap semakin mendekat. Aku semakin khawatir, begitu juga dengan teman-temanku.

              Kayaknya bakal ada badai besar, nih, kata Hopero dengan polosnya.

              Hush! seru yang lainnya.

              Namun, apa yang dikatakan Hopero sepertinya benar. Badai memang akan terjadi. Langit mulai gelap. Angin mulai bertiup kencang, sampai hampir menerbangkan tasku. Rintik-rintik air mulai menyerbu kapal. Hujan deras pun turun. Ombak mulai bergejolak, menggulung-gulung dengan liar. Hal ini menyebabkan kapal terombang-ambing hebat.

              Pegangan yang kuat! teriakku kepada teman-teman. Mereka semua menurut. Namun sepertinya ombak semakin besar, badai semakin besar. Selanjutnya, aku sudah tak tahu lagi apa yang terjadi.

 

***

 

              Eh? Di mana ini? Perlahan-lahan pandanganku mulai jelas. Yang kulihat pertama-tama adalah pasir putih yang basah dan agak hangat karena tertimpa cahaya matahari yang cukup terik. Desiran ombak dan suara burung laut juga terdengar. Aku mulai bangkit, duduk, dan memandang sekelilingku. Laut biru yang agak berombak terlihat. Hutan yang lebat berada di belakangku. Di sepanjang pantai itu, tak ada tanda-tanda kehidupan manusia. Tadinya aku mengira bahwa tempat ini merupakan salah satu pulau di wilayah Kepulauan Seribu, namun setelah kuamati baik-baik, aku sama sekali tidak mengenal tempat asing ini.

              Aku pun berdiri dan mulai berjalan menyusuri pantai. Agak jauh di depan, sesuatu yang sepertinya akan membuat hatiku lebih tenang terlihat olehku. Aku mendekati orang yang jauh dan tertelungkup itu, yang sepertinya juga terdampar sepertiku. Dan ternyata, dia adalah Rena! Jantungku pun mulai berdegup kencang. Bagaimana ini, hanya ada aku dan Rena... berdua! Tak lama kemudian, Rena membuka matanya.

              Lucom! serunya begitu melihatku. Di mana ini?

              Nggak tau, jawabku.

              Terus, yang laen pada di mana?

              Nggak tau juga. Kita cari, yuk!

              Rena mengangguk. Kami berdua mulai mencari teman-teman di bagian lain pantai, di dekat hutan, dan di dalam hutan. Setelah letih, kami beristirahat sebentar. Aku mengajak Rena untuk salat Zuhur seperti yang biasa kami lakukan di desa, karena jam tanganku sudah menunjukkan pukul 12.30. Kemudian, kami melanjutkan pencarian dan mendirikan salat Asar pada sore harinya. Kami mencari lagi sampai akhirnya hari mulai gelap. Sepertinya Rena hampir putus asa karena pencarian yang kami lakukan belum juga membuahkan hasil. Namun, aku terus menyemangatinya agar terus bersemangat dan tidak putus asa. Aku juga mengajaknya untuk mendirikan salat Magrib.

              Hari semakin gelap. Rembulan yang besar muncul di angkasa, menerangi kami yang berada di belahan bumi ini. Aku mengajak Rena untuk salat Isya dan berdoa kepada Allah SWT. Dia menurut. Setelah salat, kami duduk berdua di tepi laut dan berdoa, sambil menunggu hari esok yang mudah-mudahan keadaannya akan jauh lebih baik. Setelah lama waktu berjalan, mataku semakin berat dan akhirnya terkatup. Aku tertidur.

              Aku terbangun esok subuhnya. Kulihat Rena masih tertidur di sebelahku. Aku langsung membangunkannya untuk segera mendirikan salat Subuh. Setelah salat berjamaah dua rakaat, aku mengajak Rena untuk mulai mencari lagi, namun dia mengeluh.

              Lucom, kapan sih kita nemuin yang laen? tanyanya dengan ekspresi berkeluh-kesah.

              Ngga tau... tapi Insya Allah, pasti ketemu, jawabku optimis. Ayo kita cari lagi.

              Tiba-tiba aku mendengar sesuatu yang samar-samarsuara orang yang kukenal, memanggil-manggilyang sepertinya akan membuat hati kami jauh lebih lega.

              Luco~~~m! Rena~~~!

              Ternyata Ayu. Dia berdiri agak jauh di sisi lain pantai, tersenyum, kemudian menangis terharu melihat kami berdua. Di sebelahnya, Reno tersenyum cerah. Matahari pagi pun terbit. Sinarnya yang cerah menerangi wajah kami berempat. Kami langsung berlari saling mendekati, kemudian mengungkapkan perasaan gembira yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

              Untung kita bisa ketemu... [hiks!] isak Ayu.

              Iya, untung kita bisa ketemu, kata Reno membenarkan. Kalo nggak, mungkin gue udah mati gara-gara digangguin terus sama si Ayu!

              Langsung saja Reno berlari secepat mungkin dan Ayu mengejarnya. Aku dan Rena hanya tertawa bahagia karena berhasil menemukan dua orang teman kami. Setelah capek berkejar-kejaran, Ayu dan Reno mendekatiku.

              Ngomong-ngomong, sekarang kita ada di mana sih? tanya Reno penasaran.

              Gue juga nggak tau, jawabku. Mungkin...

              Tiba-tiba Rena memotong.

              Kalo menurut perkiraan gue sih, katanya dengan lagak sok pintar, kita berada di pantai timur Sumatera, mungkin sekitar Lampung atau Sumatera Selatan.

              Tau dari mana lo? tanya Ayu dan Reno bersamaan.

              Yah... itu kan cuma perkiraan, balas Rena, soalnya pantai di deket Kepulauan Seribu itu cuman pantai utara Pulau Jawa, pantai selatan Pulau Kalimantan, sama pantai timur Pulau Sumatera. Arus laut pas lagi badai itu kan dari arah Jakarta, jadi kemungkinan besar kita terbawa ke utarake Sumatera!

              Oh... tanggap Ayu, Reno, dan aku bersamaan.

              Rena jago, ya! pujiku.

              Iya dong, siapa dulu? Rena...! kata Rena dengan bangga. Mungkin aku sebaiknya tidak perlu memujinya, karena Rena memang senang apabila dipuji karena kelakuannya yang positif.

              Ya udah, kataku meneruskan pembicaraan, kemudian mengajak, kita cari lagi yang lainnya!

              Namun teman-temanku bukannya setuju, malah meminta toleransi.

              Tunggu dulu deh.... kata Ayu menawar dengan tatapan memelas. Gue capek!

              Iya nih, kata Reno.

              Kalo gue sih terserah elo semua, kata Rena. Gue bukan orang yang nyusahin sih...

              Iya, iya... kataku dengan nada yang agak terpaksa kepada mereka semua. Ternyata repot juga punya teman yang manja seperti mereka. Jadi sekarang kita ngapain nih?

              Hm... makan pagi dulu... ya pokoknya begitu-begitulah! Supaya lebih segar gitu, kata Ayu.

              Oke, balasku.

              Aku dan teman-temanku akan mulai sarapan, dengan makanan yang berasal dari dalam tasku. Untunglah tasku masih terbawa meskipun aku terdampar sejauh ini. Namun... isinya basah semua. Pakaian ganti, handuk, uang, dan sebagainya basah. Untung saja makanan-makanan yang kubawa merupakan makanan instan yang terkemas dengan kemasan kedap air. Selain itu untunglah tas Rena yang berisi kompor minyak dan minyak tanah tidak terhanyutkan oleh ombak ganas Laut Jawa.

              Maka, kami pun mulai memasak air mineral yang Reno bawa. Setelah mendidih, airnya dituang ke dalam empat buah cup mie milikku. Kemudian, kami makan dengan lahap setelah menunggu beberapa menit.

              Gue bilang kita harus masuk ke hutan dan nyari desa buat makan selanjutnya sama buat mandi, kataku kepada teman-teman. Persediaan makanan kita lama-lama bisa abis.

              OK! Ayo berangkat! seru Reno.

              Aku dan teman-temanku mulai berdiri dan melangkahkan kaki menuju hutan lebat yang tidak begitu jauh dari garis pantai. Setelah memasuki hutan, kami terus berjalan sampai menemukan sungai kecil berbatu-batu yang jernih dan berkilauan tertimpa cahaya matahari yang tembus lewat celah-celah dedaunan di atas kami.

              Ini dia! Dengan begini aku bisa mengisi botol minumanku yang telah kosong. Namun, Reno yang tidak sabaran merasakan segarnya air sungai setelah terombang-ambing beberapa lama malah langsung melompat dan menceburkan dirinya ke sungai. Melihat asyiknya Reno, sepertinya Ayu dan Rena juga merasa ingin menceburkan mereka. Mereka pun menceburkan diri ke sungai yang dangkal itu.

              Kini tinggal aku yang masih belum nyebur.

              Lucom, sini! seru Reno bersemangat. Aku menurutinya, mencelupkan kakiku di air sungai yang jernih dan dingin. Kemudian, aku mendekati teman-temanku dan bermain air bersama mereka.

              Rasanya menyenangkan sekali bermain-main air bersama teman-teman setelah beberapa hari tidak merasakan kesegaran air tawar. Lalu bagaimana dengan persediaan minuman? Setelah bermain air agak lama, tiba-tiba aku teringat akan hal itu. Aku langsung naik ke darat, menghampiri tasku, dan membukanya. Aku kemudian mencari botol minumanku yang sudah kosong. Setelah ketemu, aku langsung berbalik ke arah sungai, namun...

              Tiba-tiba sebilah pedang melesat dan menancap di dasar sungai. Untunglah tak ada yang kena, namun siapa yang melempar pedang itu? Suasana gembira tiba-tiba digantikan oleh suasana mencekam. Sekeliling kami sudah dipenuhi oleh sekitar dua puluh orang berseragam yang menggengam pedang dan perisai, meskipun pakaiannya bukan pakaian peranghanya pakaian biasa. Dari balik orang-orang itu, muncul seseorang yang mengenakan pakaian perang dengan jubah di belakangnya. Orang itu tampak masih muda, namun aku menerka dia pasti pemimpinnya.

              Zyhkyh pankanyg! seru pemimpin itu dengan bahasa yang sama sekali tak kukenal. Egid gyse!

              Aduh, gimana nih!? Kita bakal diapain!? kata Ayu panik.

Emang kita salah apa!? kata Reno, sama paniknya dengan Ayu.

              Liat aja nanti, kata Rena dengan nada yang sama sekali tidak berubah dari biasanya. Perkataannya itu memberikan reaksi yang besar terhadap teman-teman. Mereka menjadi semakin takut.

Aku heran, di saat-saat seperti ini, dia masih saja seperti itu. Cuek, seperti biasanya. Lama-lama aku kurang suka dengan sifatnya yang seperti itu. Kemudian, sebagai pengganti komentarku terhadap Rena, aku bertanya sesuatu kepadanya, sekaligus untuk menjawab pertanyaan yang sejak tadi memenuhi pikiranku.

Rena, elo yakin ini di Sumatera? tanyaku kepada Rena. Kok kayaknya bahasa mereka asing amat?

Nggak tau juga nih... jawabnya, kelihatan sama herannya denganku.

Saat ini orang-orang asing itu sudah mencapai kami. Mereka mengikat tangan kami semua dengan tali, kemudian menarik kami untuk segera meninggalkan tempat itu. Bagaimana dengan barang-barang bawaan kami? Rupanya mereka ikut membawanya bersama kamisialan! Dan... atas dasar apa kami dibeginikan? Mau dibawa ke mana kami semua? Apa yang akan mereka lakukan terhadap kami? Semua masih serba tanda tanya.

Orang-orang asing itu menuntun kami berjalan menempuh hutan yang lebat itu. Sesekali aku berusaha melawan, namun selalu gagal. Sebaliknya, salah satu dari mereka malah mengancamkumendekatkan pedangnya yang tajam dan mengkilap pada leherku. Kalau situasinya begini terus, aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa berserah diri.

Setelah berjalan selama berjam-jam, kami tiba di tanah kosong agak luas yang dikelilingi hutan lebat. Kami dituntun untuk berjalan ke tengah-tengah tanah kosong itu. Setelah diam beberapa lama di tengah-tengah tanah kosong, tiba-tiba tanah di sekeliling kami bergerak meninggi ke atasbukan, justru kamilah yang merosot ke bawah tanah. Rupanya bagian tengah tanah kosong itu merupakan semacam elevator yang berfungsi sebagai pintu masuk ke suatu tempat yang tersembunyi.

Kemudian, dalam benakku muncul pertanyaan, mengapa ada hal ganjil semacam ini? Apakah tidak ada seorang pun yang mengetahui adanya elevator semacam ini di Sumatera? Dan apa yang menunggu kami di bawah tanah?

Pertanyaan-pertanyaanku mulai terjawab beberapa waktu kemudian. Aku, teman-temanku, dan orang-orang asing itu tiba di bawah tanah. Hal pertama yang kulihat adalah koridor agak lebar berlantai tanah, yang membentang panjang ke depan. Obor-obor api tampak berjejeran di sepanjang dinding-tanah koridor, diselingi penjaga-penjaga berpedang dan berperisai yang sedang berpatroli.

Setelah kami berjalan beberapa langkah dari elevator, beberapa orang penjaga mencegat. Pemimpin rombongan kami langsung turun tangan. Dia muncul dari belakang rombongan, menampakkan dirinya kepada para penjaga. Penjaga-penjaga itu pun menyingkir. Aku, Reno, Rena, dan Ayu kembali dipaksa berjalan lagi.

Kami dituntun berjalan menempuh koridor panjang yang berpenerangan obor dan terjaga ketat. Pada sisi kiri dan kanan koridor, pintu-pintu tertutup berbaris memenuhi dinding koridor yang panjang. Aku melihat tulisan Kota Samail pada salah satu pintu yang cukup besar. Aku heran, apa benar ada kota di bawah tanah begini? Jika benar, hebat sekali orang-orang ini, bisa mendirikan peradaban bawah tanah.

Lalu setelah berjalan agak lama, kami sampai di ujung koridorbuntu, hanya berupa tembok dari bata-bata besar. Pemimpin rombongan yang sejak tadi berjalan paling depan langsung mengucapkan semacam kata kunci di depan tembok. Serta-merta tembok itu bergeser ke atasseperti rolling doordan kami dipaksa berjalan lagi.

Tak jauh dari penghalang tadi, kami tiba di sebuah pintu yang besar. Lagi-lagi dua orang penjaga di situ mencegat rombongan kami, dan setelah ditangani oleh pemimpin rombongan kami, dua orang penjaga itu pun menyingkir. Kemudian kami dituntun berjalan menaiki undakan yang membentang menuju pintu besar itu.

Apa yang sedang menunggu kami di balik pintu itu? Apa yang akan orang-orang ini lakukan terhadap aku dan teman-temanku?

Ketika kami sampai di puncak undakan, dua orang penjaga pintu membuka pintu besar itu. Perlahan-lahan pintu besar terbuka lebar ke dalam. Apa yang berada di baliknya mulai terkuak. Yang terlihat di balik pintu besar itu ialah ruangan besar yang cukup luas dan berlangit-langit yang tinggi, dengan penerangan obor seperti pada ruangan-ruangan sebelumnya. Karpet merah membentang dari pintu besar sampai ke seberang ruangan yang cukup jauh. Di ujung karpet itu, kursi takhta terlihat megah. Seseorang yang cukup tua dan berpenampilan mewah duduk di kursi takhta itu. Aku menerka ini pasti pemimpinrajadari kerajaan bawah tanah ini.

Setelah itu, rombongan kami bergerak ke depan, menyeberangi ruangan, menuju kursi takhta. Kami pun sampai di dekat sang raja. Pemimpin rombongan kami memberi salam hormat kepada sang raja, kemudian mulai berbicara dengan bahasa asingnya.

              Oyhk Simey Ismail, gyse gaspyme saspyfy unyhk-unyhk oyhk Yhty sygcitgyh, katanya.

              Banmerydgyh sanagy gabytygi, balas sang raja.

              Pyeg, Oyhk Simey. Pemimpin rombongan kami mulai mendekatiku yang berada paling depan di antara teman-temanku. Ia menarik tali yang mengikat tanganku dengan paksa. Mau tak mau aku harus menurut padanya. Lalu, sang raja mulai menatapku. Ia juga memperhatikan Reno, Rena, dan Ayu secara bergantian.

              Yby gyioygeh ehe unyhk-unyhk oyhk gisygcitgyh? kata sang raja setelah melihat kami.

              Dahdi, Oyhk Simey.

              Gymyi pakedi, cinir sanagy panecdenyryd timi.

              Pyeg, Oyhk Simey.

              Pemimpin rombongan itu mulai menarik tali yang mengikat tanganku lagi. Aku dan teman-temanku dituntun untuk berjalan menuju sudut kanan ruangan yang berpintu. Kami dipaksa masuk ke ruangan di balik pintu itu.

              Ruangan di balik pintu itu tidak begitu besar. Ada beberapa tempat tidur di ruangan itu. Sepertinya ini ruang istirahat yang dikhususkan untuk para tahanan yang sedang menunggu vonis dari sang raja.

Setelah kami memasuki ruang istirahat, ikatan tali yang membelenggu kami pun dilepas. Tas dan barang bawaan kami diletakkan di pojok ruangan oleh salah satu anak buah si pemimpin rombongan. Kami pun duduk di tempat tidur masing-masing.

              Panecdenyrydmyr... kata pemimpin rombongan dari pintu ruangan, maaf, maksud saya, beristirahatlah sepuas kalian di sini. Besok kalian akan menghadap raja lagi. Yang Mulia Ismail ingin menugaskan sesuatu pada kalian. Terimalah tugasnya, karena tugas itu menyangkut kelangsungan kerajaannya dan juga kelangsungan hidup di dunia kalian.

              Kami semua terkejut karena orang itu bisa berbicara dalam bahasa Indonesia. Aku pun bertanya mengenai tugas dari sang raja itu.

              Tugas apa? tanyaku penasaran.

              Kalian akan mengetahuinya besok pagi. Dan satu lagi, jangan coba-coba kabur dari sini. Kalau ketahuan, mungkin kalian akan dihukum dengan tugas yang lebih berat lagi, kata pemimpin rombongan kemudian keluar dan menutup pintu.

              Apa-apaan ini? Bagaimana mungkin aku dan teman-teman ditahan? Memangnya apa kesalahan kami sehingga kami mengalami hal ini? Selain itu, aku juga masih heran dengan adanya kehidupan bawah tanah seperti ini. Sulit dipercaya. Dari mana mereka berasal? Apakah mereka memang sudah ada di bawah tanah ini sejak dulu? Semuanya masih misteri.

              Rena, elo tau nggak tentang bawah tanah ini? tanyaku kepada Rena.

              Nggak, jawabnya, gue sama sekali nggak tau. Gue aja bingung.

              Ngomong-ngomong raja itu bakal nugasin apa ya, sama kita? tanya Ayu mengeluh. Jangan-jangan kita bakal disuruh melakukan hal yang berbahaya lagi...

              Tenang! kata Reno optimis. Pasti raja itu nggak bakal nyuruh yang aneh-aneh! Pasti!

              Aku, Rena, dan Ayu tersenyum melihat Reno. Rasanya hati kami menjadi sedikit lebih tenang setelah melihat aksinya yang cukup menghibur.

              Sementara itu, jam tanganku sudah menunjukkan pukul 11.00. Aku bosan kalau harus diam di dalam ruangan ini selama sehari penuh. Aku pun mencoba membuka pintu keluar. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Reno, Rena, dan Ayu kuajak keluar dari ruangan.

              Sebelum benar-benar keluar dari ruang istirahat, aku mengintip situasi dan kondisi di luar terlebih dahulu. Kosongtak ada penjaganya sama sekali. Di sebelah kananku, kursi takhta sedang tidak diduduki siapa-siapa. Aman.

              Kami berempatdengan aku sebagai orang yang berjalan paling depanlangsung keluar dari ruangan dan mengendap-endap menuju pintu besar di depan. Setelah mencapai pintu besar, aku bermaksud untuk membuka pintu itu kemudian menghabisi penjaganya. Aku pun membuka pintu besar itu perlahan-lahan.  Namun, tak ada siapa pun yang menjaga pintu besar itu dari luar. Wah, kebetulan sekali. Tanpa melihat ke belakang, aku langsung menarik lengan Reno yang seharusnya berada tepat di belakangku. Namun, sepertinya lengan Reno agak lebih besar dari biasanya. Tubuhnya juga sepertinya lebih berat. Tadinya aku berpikir Reno menahan tarikanku, namun setelah kulihat ke belakang, ternyata lengan yang kutarik adalah lengan... si pemimpin rombongan!

              Aku sangat terkejut. Kulihat di belakang pemimpin rombongan, teman-temanku sudah terikat erat dengan tali, dengan mulut yang sudah terbungkam oleh kain. Mereka bertiga sedang berusaha melepaskan diri.

              Bukankah sudah kukatakan? kata pemimpin rombongan itu dengan ekspresi menyeramkan. Kalau mencoba kabur, kalian akan menerima hukuman yang cukup berat!

              Kami tidak mencoba kabur! kataku memberanikan diri. Kami cuma bosan, masa harus terus-terusan di kamar!?

              Kalian memang seharusnya diam di sana sampai besok pagi!

              Tapi kami kan juga harus sholat, makan, dan sebagainya! Masa Anda tidak berpikir sampai sejauh itu!?

              Bukankah di kamar itu ada kamar mandi dan WC? Selain itu, makanan juga akan diantar setiap jam makan.

              Jadi... kesimpulannya, kami akan dihukum?

              Tidak kali ini.... Aku tidak mau ada masalah semacam ini di sini. Lebih baik kalian kuhindarkan dari hukuman.

              Jadi, kami tidak akan dihukum?

              Apa boleh buat, tetapi jangan mencoba keluar kamar lagi! Kalau kalian berani melakukannya lagi, aku tidak akan segan-segan memberitahukan perbuatan kalian kepada Yang Mulia Ismail!

              Kemudian, pemimpin rombongan itu berbalik arah dan melepaskan ikatan tali yang mengikat teman-temanku.

              Reno, Rena, dan Ayu pun mulai berjalan, kembali ke ruang istirahat. Aku mengikuti mereka. Sebelum jauh meninggalkan pemimpin rombongan, aku berhenti sejenak.

              Terima kasih, bisikku dari jarak yang agak jauh kepada pemimpin rombongan yang sudah hampir tertutup oleh dua buah daun pintu besar. Sesaat sebelum pintu besar menutup, dia tersenyum membalas ucapan terima kasihku.

              Lalu, kami berempat masuk lagi ke ruang istirahat. Bosan, memang, tetapi mau bagaimana lagi? Di saat-saat begini, lebih baik kami tidur saja. Namun, tak ada seorang pun dari kami yang berhasil terlelap. Akhirnya, setelah menunggu selama berjam-jam, malam pun tiba. Setelah mendirikan salat Isya, kami berempat langsung terlelap begitu saja, mungkin karena terlalu letih berjalan tadi pagi.

              Esok subuhnya, terdengar ketukan pintu yang dilakukan berkali-kali dengan keras. Aku terbangun. Tak lama kemudian, pintu mulai terbuka. Ternyata pemimpin rombongan. Rupanya dia bermaksud membangunkan kami agar segera mendirikan salat Subuh.

              Bangun! perintahnya. Sholat Subuhberjamaah bersama orang-orang yang laindi mesjid!

              Iya, terima kasih, kataku membalasnya.

              Aku terkagum karena ternyata penduduk bawah tanah juga beragama Islam. Selain itu, aku juga terkagum karena di ruang bawah tanah juga ada masjid. Artinya, ukhuwah islamiyah di antara penduduk bawah tanah tergolong kuat.

Lalu, aku langsung membangunkan teman-temanku. Setelah bangun, Aku, Reno, Rena, dan Ayu pun berwudhu secara bergantian. Selesai berwudhu, Rena dan Ayu mengambil mukena mereka masing-masingyang untungnya tidak lupa dibawa dari desa. Kami berempat pun meninggalkan ruangan dan mengikuti si pemimpin rombongan yang menunjukkan jalan menuju masjid bawah tanah.

              Setelah melewati pintu besar dan tembok penghalang, kami berhenti di depan sebuah pintu agak lebar yang merupakan salah satu pintu di koridor panjang. Kami pun membuka pintu itu dan memasukinya.

              Aku tercengang begitu melihat ruangan di balik pintu ituruangan yang luar biasa besar dan luas, jauh lebih besar daripada ruang takhta Raja Ismail. Langit-langit cekungnya yang terbuat dari kaca transparan dan sangat tinggi memperlihatkan laut yang masih gelap. Lantainya dilapisi karpetsajadahhijau yang tebal. Di seberang ruangan, tampak mimbar yang cukup tinggi. Sekeliling atas ruangan itu dipenuhi oleh kaligrafi-kaligrafi Arab yang rapat-rapat. Menurutku, cukup untuk memuat 6666 ayat Al-Quran pada sekeliling ruangan itu.

              Sudah cukup banyak jamaah ikhwan dan akhwat yang berada di masjid itu. Ada yang duduk, membaca Al-Quran, berdoa, dan salat sunah. Aku dan Reno menuju saf depan tempat para ikhwan, sedangkan Rena dan Ayu menempati saf akhwat. Tak lama kemudian, azan mulai berkumandang. Suaranya terdengar sampai ke seluruh bagian kerajaan bawah tanah. Agak lama setelah itu, komat mulai terdengar. Semua jamaah pun berdiri, berkumpul, dan merapatkan saf.

              Gerakan demi gerakan kami jalani dengan khusyuk. Selesai salat, aku bersalaman dengan Reno dan beberapa jamaah lainnya yang berada di dekatku. Kemudian sebelum berdiri, aku duduk sebentar untuk berdoa. Setelah itu, aku dan Reno keluar dari masjid itu.

              Di luar koridor luar masjid, aku dan Reno bergabung kembali dengan Rena dan Ayu. Tiba-tiba si pemimpin rombongan keluar dari masjid dan mendekati kami berempat.

              Kalian hanya boleh berada di kamar atau mesjid, katanya. Tidak diperkenankan untuk berkeliaran. Dan tunggulah sampai hari agak terang. Kalian diberi waktu istirahat sedikit lagi agar kalian benar-benar siap menghadapi tugas.

              Baik, balasku. Aku dan teman-temanku semakin khawatir saja. Sebenarnya, seberapa beratkah tugas yang akan dibebankan kepada kami? Jawabannya akan kami ketahui nanti, saat kegelapan digantikan oleh kecerahan.

              Karena bosan berada di kamar sejak kemarin, aku memutuskan untuk tetap berada di masjid. Reno, Rena, dan Ayu juga sama dengankubosan dengan kamar yang cukup sempit itu. Namun sebelumnya, untuk berjaga-jaga, aku dan teman-temanku mengikuti pemimpin rombongan ke kamar untuk mengambil barang-barang dan membawanya ke masjid.

              Kami berempat pun kembali masuk ke dalam masjid untuk duduk-duduk dan tidur-tiduranaku dan Reno di depan, Rena dan Ayu di belakang, sama seperti saat salat Subuh tadi.

              Setelah tidur-tiduran selama beberapa lama, kulihat laut di atasku mulai terang. Gelombang dan riak airnya yang kebiruan mulai terlihat dan terpantul pada dinding masjid. Rasanya damai sekali berada di tempat seperti ini. Tenang, aman, tentram, dan tak ada gangguan. Namun sayangnya, tiba-tiba gangguan datang merusak perasaan tentramku ini. Pemimpin rombongan membuka pintu ruangan dan berjalan menghampiriku.

              Saatnya menghadap Yang Mulia Ismail, katanya menyebalkan.

              Iya, iya, balasku jengkel sambil mulai bangkit. Reno yang sudah terlelap di sebelahku juga kubangunkan dengan berat hati. Kemudian, aku dan Reno mengikuti pemimpin rombongan keluar dari masjid, bersama Rena dan Ayu tentunya. Setelah berjalan melewati tembok penghalang dan pintu besar, kami berlima sampai di ruang takhta Raja Ismail yang sepi. Hanya kami berlima dan sang raja yang berada di tempat itu.

              Setelah memberi salam hormat, si pemimpin rombongan berkata kepada sang raja, Oyhk Simey Ismail, cyoy saspyfy unyhk-unyhk oyhk Yhty sygcitgyh ihdig tepane dikyc. Suruh kihygyh pyrycy Ehtuhacey gabyty sanagy.

              Pyeg, balas sang raja, kemudian menatap kami berempat. Baiklah, akan saya beri tahukan tugas yang akan dibebankan pada kalian. Tetapi sebelumnya, saya akan menjelaskan latar belakangnya terlebih dahulu. Pada zaman dahulu, beberapa tahun setelah Islam masuk Indonesia, orang-orang yang tinggal di Pulau Sumatera bagian selatan hidup dengan damai. Mereka menjalin perdagangan dengan daerah-daerah lainnya. Pada suatu ketika, muncullah suatu kaum dari daerah lain yang sangat jauh, datang dengan tujuan berdagang. Namun lama kelamaan, mereka bukannya berdagang lagi, melainkan malah mengganggu kedamaian penduduk. Kaum itu bernama Tyranniasaya yakin sekarang ini pasti sudah tidak ada lagi orang yang mengetahui nama itu. Entah dari mana mereka berasal, Tyrannia adalah kaum yang terkenal dengan kekejaman dan kesadisannya. Mereka sering menyiksa dan membunuh penduduk-penduduk di daerah Sumatera bagian selatan. Sebagian pendudukyaitu kamimelarikan diri dan bersembunyi dari Tyrannia, dan sebagian lagi berperang melawan kaum itu. Akhirnya setelah diperangi selama berbulan-bulan, Tyrannia pun jatuh, melarikan diri, bersembunyi untuk menghimpun kekuatan, dan mendirikan kerajaan di daerah lain yang tersembunyi. Kini, kekuatan mereka sudah jauh lebih besar dan hebat daripada sebelumnya. Tak lama lagi, mungkin mereka akan kembali merajalela di tanah air ini.... Itulah sebabnya aku memberikan kalian sebuah tugas besar. Tugas kalian adalah: melenyapkan Tyrannia sebelum merajalela di tanah air kita!

              Aku, Reno, Rena, dan Ayu terkejut begitu mendengar kalimat terakhir sang raja. Melenyapkan Tyranniasesuatu yang berbahaya dan sama sekali belum pernah kami ketahui sebelumnya? Tidak masuk akal! Aku pun menentang.

              Kenapa harus kami!? Bukankah Anda punya pasukan-pasukan bersenjata?

              Si pemimpin rombongan terkejut dengan ucapan menentangku yang dianggapnya tidak sopan. Sang raja pun berdeham.

              Begini.... Beberapa hari yang lalu, aku bermimpi tentang adanya empat orang yang datang ke sini untuk menyelamatkan tanah air ini dari kebangkitan Tyrannia. Mereka berkata dengan sombongnya, Hanya kamilah yang sanggup mengalahkan Tyrannia! Mendengar pernyataan itu, aku ingin mereka membuktikannya. Oleh karena itu setelah bangun, aku menyuruh pengawalku untuk mencari empat orang sombong itudan akhirnya ditemukan! Jadi, hanya kalianlah yang mampu melenyapkan Tyrannia untuk selamanya. Sang raja menyeringai lebar.

              Tunggu, tunggu! teriakku. Aku mulai marah dengan rencana raja yang menurutku bodoh itu. Bagaimana mungkin Anda percaya begitu saja dengan mimpi!? Mimpi itu belum tentu nyata! Dan Anda tidak boleh mencampuradukkan mimpi dengan kenyataan! Kami sama sekali tidak pernah menyombongkan diri seperti itu! Bertemu saja belum pernah, apalagi...

              Diam! teriak sang raja tegas, tampak sangat murka. Pemimpin rombongan terlihat sangat shock dan takut. Raja Ismail pun mengusir, Sekarang, kalian pergilah! Pengawal, bawa mereka sekarang!

              Babaik... kata pemimpin rombongan dengan gugup. Lalu, dia memberi isyarat agar kami berempat segera keluar dari ruangan itu. Aku dan teman-temanku pun mulai angkat kaki, diikuti si pemimpin rombongan.

              Begitu keluar dari ruang takhta, tak jauh dari tembok penghalang di depan, pemimpin rombongan berkata dengan sangat menyesal.

              Apa yang kaukatakan tadi sungguh membuat Yang Mulia marah.... Seharusnya kau tidak menentangnya begitu...

              Apa!? teriakku seraya menghentikan langkah kakiku. Orang bego begitu kenapa harus dihormatin sampe sebegitunya sih!? Heran, kok bisa ya, dia jadi raja?

              Ssst! desis si pemimpin rombongan. Jangan keras-keras.... Maklumi saja sifatnya yang aneh itu.

              Tapi...

              Sudahlah, kata si pemimpin rombongan, mulai mendorongku agar berjalan lagi, sekarang kita jalani saja tugas dari beliau. Oh iya, maaf, sejak kemarin saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Yusuf Asy-Syamsiah. Panggil saja Yusuf.

             Oh... Yusuf.... Saya Lucom, kataku sambil menjabat tangannya. Reno, Rena, dan Ayu juga memperkenalkan diri. Mereka memperkenalkan diri secara wajar, kecuali Ayu yang memperkenalkan dirinya sambil mengedipkan mata dengan genit (tidak ditanggapi oleh Yusuf).

              Setelah itu, Yusuf mengucapkan kata kunci pembuka tembok penghalang sehingga jalan terbuka. Kami berlima pun masuk ke koridor panjang yang membentang di depan. Sebelum berjalan jauh, aku dan teman-teman meminta izin kepada Yusuf agar memperbolehkan kami masuk ke masjid untuk mengambil barang-barang bawaan. Dia mengizinkan.

              Kemudian selesai mengambil barang-barang bawaan, aku beserta rombongan berjalan menuju ujung koridor. Ketika hampir mencapai ujung, Yusuf berkata, Kita tidak tahu apa yang akan terjadi saat menjalani tugas nanti, jadi sebaiknya kita pergi ke Kota Samail untuk membeli segala keperluan.

              Aku dan teman-teman menurut saja. Kami pun mengikuti Yusuf ke pintu masuk Kota Samail. Begitu pintu terbuka, suara keramaian langsung menyerbu dari dalam. Benar-benar sebuah kota yang ramai! Jalan yang lebar dan besar, pasar yang dikerumuni penjual dan pembeli, gedung-gedung yang cukup tinggi, semuanya menyambut kami yang baru melangkah masuk. Kendaraan-kendaraan tak bermotor seperti delman dan gerobak berlalu-lalang menyemarakkan suasana kota yang ramai. Sama seperti di masjid, langit kota ini adalah lautan biru yang cerah dan bening. Aku suka dengan langit-langit seperti itu, karena bisa dibilang menyehatkan untuk kerajaan bawah tanah yang hampir mustahil untuk memperoleh cahaya matahari.

              Kami berlima pun berjalan beberapa langkah ke depan. Tiba-tiba Yusuf berhenti, membalikkan badannya ke belakang, dan memandang kami.

              Kalian makan pagilah dulu, katanya. Carilah restoran atau semacamnya. Ingat, tugas yang akan kita hadapi ini cukup berat. Aku akan pergi mencari senjata, perisai, dan obat-obatan untuk kalian. Sementara aku pergi, kalian boleh berkeliling kota ke mana pun kalian suka dalam waktu satu jam. Nanti kita akan bertemu lagi di pintu masuk kota.

              Lalu dia berbalik dan berjalan meninggalkan kami. Namun, tiba-tiba dia berhenti dan berbalik menuju kami lagi.

              Maaf, aku lupa sesuatu. Dia menyerahkan beberapa lembar uang kertas yang asing kepadaku. Gunakan ini sebagai uang. Ini adalah mata uang kerajaan bawah tanah, Mil. Satu Mil kira-kira senilai dengan lima ribu rupiah. Jangan terlalu boros, karena aku tidak bawa banyak uang. Ya sudah, nanti kita bertemu lagi di sini.

              Setelah itu, Yusuf kembali meninggalkan kami dan berjalan menempuh keramaian. Belum jauh berjalan, ia sudah menghilang dalam keramaian pasar.

              Sekarang kita ke mana nih? tanyaku kemudian, kepada teman-teman.

              Makan pagi aja yuk... kata Ayu memohon. Laper banget nih!

              Semuanya setuju. Kami pun mulai melangkahkan kaki ke depan, menuju pusat kota yang sibuk dan ramai. Setelah berjalan beberapa lama, kami sampai pada bagian jalan yang penuh dengan restoran yang terlihat mewah. Hampir semuanya tutup. Tetapi untunglah, ada beberapa yang buka.

              Begitu kami masuk ke dalam salah satu restoran, beberapa pelayan yang ramah menyambut kami. Mereka menunjukkan meja yang akan kami tempati. Kami menurut saja. Setelah kami berempat duduk, salah seorang pelayan memberikan menu hidangan.


Enter supporting content here