CERITA-CERITA MENARIK KARANGAN CHUUI
Awal
Kabar
Tentang CHUUI
OPERA RUMAH SAKIT JIWA

Cerita Sumbangan dari Teman

OPERA RUMAH SAKIT JIWA

 

Inti cerita

Dua orang mahasiswa Universitas Indonesia Jurusan Psikologi mengadakan riset mengenai para pasien yang mengalami gangguan jiwa. Mereka tidak pernah menduga sebelumnya akan menemukan suatu refleksi yang membuka tabir pandangan mereka lebih lebar lagi akan dunia yang luas ini. Para pasien tersebut justru menguak keabnormalan di tengah kehidupan yang memang sudah tidak waras lagi.

 

Tokoh, Pemain, dan Karakterisasi

  • Rini dan Hans

Dua orang mahasiswa Jurusan Psikologi yang mengadakan riset tentang pemikiran orang-orang yang mengalami gangguan jiwa.

Properti: pulpen, file, sapu tangan, permen.

  • Dr. Gilang

Seorang dokter ahli penyakit gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Anti Gila.

Properti: suntikan.

  • Suster Lina

Seorang suster perawat para pasien rumah sakit jiwa yang sabar dan penuh perhatian. Disayangi dan sangat dipatuhi para pasien.

Properti: botol obat, suntikan.

  • Melani

Menderita gangguan jiwa karena trauma berat diperkosa secara bergilir lima kali.

Properti: sisir, cermin.

  • Andhika

Dulu seorang pejabat kaya. Namun hartanya disita pemerintah karena difitnah melakukan korupsi. Akhirnya ia menjadi gila karena tidak dapat menerima kenyataan.

Properti: potongan-potongan kertas.

  • Peppin

Sering tertawa terkikik-kikik tanpa alasan yang jelas dan suka melakukan lelucon-lelucon usil.

Properti: gelembung tiup.

  • Stefani

Jarang bicara. Tertutup, tetapi tatapan matanya tajam dan sedikit sarkastik.

Properti: mainan kubus/bola tiktok.

  • Tomi

Menderita gangguan jiwa karena tidak berhasil menjadi orang terkenal. Seringkali menanyakan apakah tubuhnya wangi atau tidak.

Properti: topi kupluk dan poster Eminem.

  • Lia

Masih berusia 10 tahun tetapi sudah menderita gangguan jiwa karena tekanan yang terlalu besar dari orangtua.

Properti: 2 boneka.

 

 

ADEGAN 1

Prolog              : Dunia ini luas, sangat luas. Begitu luasnya hingga terkadang sulit dimengerti. Laut mana yang tak berombak, bumi mana yang tak ditimpa hujan. Nasib yang kejam, mengapakah engkau merendahkan yang telah rendah, mematahkan yang telah terkulai?  Sebagian insan dapat bertahan dari tantangan hidup, namun tidak sedikit yang larut dalam pahitnya realita.

Orang-orang gila muncul.

Orang gila berekspresi sesuai karakternya.

Suster datang.

Suster               : Ayo, semuanya! Waktunya minum obat... (membawa sebuah botol kecil  berisi  pil-pil dan sebuah suntikan)

Tomi                : (menghampiri suster dengan wajah berseri-seri) Wah, Suster Lina tidak sabaran ya, rupanya. 'Kan saya sudah katakan, kalau mau minta tanda tangan saya, suster harus mengantri dulu setelah jumpa pers. (tiba-tiba ekspresinya berubah, seperti sedang mengendus-endus sesuatu) Mfhh... (mencium bajunya) Suster Lina, coba cium. (mengangkat ketiaknya) Masih wangi tidak?

Suster               : (mendekatkan wajahnya ke ketiak Tomi) Yaaks... (menutup hidung) Aduh, Tomi! Sepertinya kau harus meminum obat ini agar tubuhmu tidak bau... (dengan wajah meyakinkan)

Tomi                : Sungguh, Suster? (wajah polos yang sedikit cemas)

Suster mengangguk sambil menyodorkan botol pilnya. Tomi  segera meraihnya dan berusaha mengeluarkan pil yang banyak.

Suster               : Hey, hey, jangan terlalu banyak! (mengambil kembali botol pilnya)

Tomi                : Biar wanginya tahan lama, Suster. (mencoba merampas kembali)

Suster               : Kau ingin para penggemarmu pingsan sesak napas?

Tomi                : (menggeleng-gelengkan kepala) Tentu saja tidak, Suster! "Penggemar adalah prioritas utama! Tanpa dukungan mereka, saya bukanlah apa. (wajah melankolis) Oh, Tominem memang memukau... (membanding-bandingkan wajahnya dengan foto Eminem). Oh, saya cinta kalian semua... Terima kasih, terima kasih... (memberikan kecupan jauh dengan lambaian tangan)

Suster               : Baiklah. Ini, satu saja. (memberikan sebuah pil)

Tomi menelan obatnya sambil masih terus berkhayal menjadi seorang artis terkenal.

Suster berjalan menuju Stefani yang sedang jongkok meringkuk di sudut ruangan.

Suster               : Stefani... (jongkok di sampingnya lalu membelai lembut kepala Stefani)

Stefani menengok suster perlahan lalu menatap sinis. Suster memberikan botol obatnya.

Stefani merampasnya, melemparkan pandangan tidak simpatik pada suster.

Stefani mengambil sebuah pil lalu menelannya dengan mimik wajah yang sangat dingin.

Suster tersenyum. Tiba-tiba dari belakang Peppin datang mengusili Stefani lalu

tertawa terkikik-kikik. Suster melolot pada Peppin. Stefani berdiri perlahan dengan

memasang tampang garang. Peppin masih terkikik-kikik. Dengan tangkas, Stefani

mencekik leher Peppin yang tidak sempat melarikan diri. Peppin berteriak minta

tolong. Suster segera berusaha memisahkan mereka.

Suster                : Sudah, cukup. (mencoba memisahkan) Hentikan!

Stefani melepaskan cekikannya lalu mendorong Peppin. Peppin terengah-engah.

Peppin               : Ooh, Suster... (seperti mau pingsan) Aku akan mati... (jatuh terduduk)

Suster segera menahan tubuh Peppin dengan melingkarkan lengannya pada punggung

Harsha dengan posisi duduk di lantai.

Peppin              : Aku ingin kau tahu... Aku... akan tetap menyayangimu walaupun ajal memisahkan kita, Suster... (menghembuskan napas terakhir)

Suster               : Peppin, Peppin... Sadarlah... (khawatir)

Peppin              : DOR!! (langsung membuka mata)

Suster               : DOR!! Eh, dor, eh... (latah)

Peppin              : (tertawa terkikik-kikik) Suster latah, Suster latah... (mengejek)

Suster               : Itu sama sekali tidak lucu! (menahan marah) Makan ini! (memberikan sebuah pil pada Peppin)

Peppin              : Ah... Suster, Suster jangan marah...

Suster               : Dengar! Hari ini akan ada dua orang mahasiswa melakukan penelitian di sini. Jadi bersikaplah baik dan jangan paksa aku menyuntik kalian dengan ini. (menunjukkan suntikan)

Peppin menelan pilnya dengan wajah cemberut sebagai tanda protes.

Dokter datang bersama Rini dan Hans.

Dokter              : Suster Lina... (memanggil dengan nada berwibawa)

Suster               : Oh ya, Dokter Gilang. (menuju dokter)

Dokter              : Perkenalkan, merekalah yang akan melakukan riset di sini.

Rini dan Hans memperkenalkan diri pada suster dengan bersalaman.

Dokter              : Antarkanlah mereka kepada beberapa pasien di sini. Tanggungjawab ada di tanganmu.

Suster               : Baik, Dokter. Anda bisa menaruh kepercayaan pada saya. (tersenyum)

Dokter              : Rini, Hans, ini Suster Lina. Ialah yang akan memandu kalian dalam penelitian ini. Ada hal lain yang harus saya bereskan dahulu. Untuk sementara saya tidak bisa ikut mendampingi. Kalian tidak keberatan, bukan?

Rini                  : Ya, tidak masalah.

Dokter              : Saya akan kembali lagi nanti.

Hans                 : Terima kasih, Dokter. (bersalaman)

Dokter juga menyalami Rini.  Tersenyum kepada suster, lalu beranjak pergi.

Suster               : Selamat datang di Rumah Sakit Jiwa Anti Gila.(tersenyum) Sebagai langkah awal, saya sarankan kalian mempersiapkan mental dahulu. Saya tidak ingin kalian shock.

Rini                  : Maksud Suster? (wajah sedikit cemas dan curiga)

Suster               : Jika terjadi sesuatu, jangan panik. Tenang saja.

Rini  dan Hans saling berpandangan dan menelan ludah.

Hans                 : Oh ya, tentu. (sedikit kagok) Kami tidak akan bertindak gegabah.

Stefani datang dari belakang lalu menepuk kencang pundak Hans.

Hans                 : HWAA!! (terkejut hingga nyaris memeluk Rini)

Stefani memelototi Hans dengan wajah seram dan rambut panjangnya yang terjuntai.

Hans ketakutan dan tak sanggup bicara.

Stefani              : Apakah kalian sepasang kekasih yang sedang memadu cinta?

Rini                   : Oh, tidak... tidak... (sedikit takut)

Stefani               : Bagus... bagus... (memperhatikan Hans dari ujung rambut hingga ujung kaki) Makhluk Tuhan yang amat indah... (dingin)

Rini hanya bisa tersenyum paksa sambil memegangi Hans.

Stefani              : Penuh cita rasa...

Stefani lalu tertawa terbahak-bahak sambil memukul-mukul lengan Hans dengan

kepalan tangannya.

Hans ikut tertawa walaupun secara paksa dengan tampang yang sangat aneh.

Rinipun berusaha tertawa walaupun dengan tampang yang aneh juga.

Suster            : Wah, bagus sekali. (bertepuk tangan) Tampaknya Stefani menyukaimu!

Hans menenangkan diri dan merapikan penampilannya.

Stefani pergi.

Hans              : Fiuh... (melap keringat di dahinya dengan saputangan dari sakunya)

Rini               : Sambutan yang sedikit mengejutkan. (masih agak linglung) Mari, kita mulai saja riset ini.

Tomi datang menghampiri.

Tomi              : Halo, semuanya! (menyelamati Rini dan Hans) Apa kabar? Karena saya sangat baik, maka saya memberikan Anda kesempatan untuk mewawancarai saya sekarang juga.

Hans              : Oh, rupanya Suster Lina telah memberitahukan mereka mengenai riset ini.

Tomi             : Ehem... Silakan ajukan pertanyaannya. Saya sudah siap.

Rini               : Baiklah. Kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Kenalkan, nama saya Rini, dan ini rekan saya, Hans.

Tomi             : Dari majalah mana, ya?

Hans              : Majalah? Tidak, kami bukan wartawan media cetak. Kami...

Tomi             : Oh, maaf. Saya lupa! Maklum orang sibuk. Coba saya ingat jadwal saya dulu... (berpikir) Ya, ya... Kalau begitu kalian pasti reporter dari Mtv! (berseri-seri)

Hans, Rini     : Bukan, kami...

Suster            : (menyela) Ya, mereka dari Mtv! Mereka akan mengadakan wawancara eksklusif. Jadi jawablah pertanyaan-pertanyaannya dengan baik.

Tomi             : Tentu. Saya tidak ingin para penggemar kecewa.

Rini               : Kalau boleh tahu, siapa nama Anda?

Tomi             : Apa?! Pertanyaan yang betul-betul bodoh! Kalian tidak kenal saya, Tominem, penyanyi rap kontroversial terbaik tahun ini? Saya sudah mengeluarkan dua album. Kalian harus membelinya!

Rini               : Ya, kami pasti membelinya.

Tomi             : Harus itu... (sombong) Maaf, saya tidak punya banyak waktu. Sekarang saya ada pemotretan. Saya pergi dulu. Jangan lupa meliput konser saya nanti! Bubbay... Saya cinta kalian, mmuah... (melambaikan tangan)

Tomi beranjak pergi lalu membanding-bandingkan wajahnya dengan foto Eminem.

Hans             : Dilihat dari tingkahnya, ia pasti menderita tekanan batin karena popularitas.

Suster            : Ya, ia ingin menjadi orang terkenal. Tapi sayangnya nasib berkata lain. (prihatin) Sebenarnya saya sedang membagikan obat. Bagaimana jika kalian sekarang meneliti pasien itu? (menunjuk Andhika) Kebetulan ini jatah pilnya.

Rini dan Hans mengiyakan. Mereka bertiga mendatangi Andhika.

Andhika sedang duduk memegangi potongan-potongan kertas.

Suster            : Halo, Andhika. Sedang apa? (duduk di sampingnya)

Andhika        : Lihat, Suster! (mengibaskan potongan-potongan kertas di jemarinya) Aku punya banyak uang! (teriak dengan wajah berseri-seri)

Rini               : Wah, banyak sekali uangmu! (sok akrab lalu memungut beberapa yang tercecer di lantai)

Andhika        : Jangan! (segera mengambil potongan-potongan kertasnya sambil melotot) Kalian semua manusia munafik! Tangan kalian yang terlihat memang cuma dua, tapi tangan-tangan lainnya menyelinap di balik selimut fitnah, menggerogoti harta orang yang kalian jilat!

Rini dan Hans terkesima.

Rini               : Apakah ia seorang pejabat kaya?

Suster            : Analisa yang bagus, tapi itu dulu sebelum hartanya disita karena dituduh korupsi.

Andhika        : Mereka bicara dengan kata-kata elit; konstitusi, legislatif, subsidi... (kecewa) OMONG KOSONG!! (melempar potongan-potongan kertas di tangannya) Lidah mereka lebih tajam daripada pedang! Lebih licin daripada ular!

Hans              : Kelihatannya ia sulit menerima kenyataan ini.

Tiba-tiba Stefani datang menemui Andhika.

Stefani          : Otak udang, kau menyedihkan.    

Andhika        : Lalat-lalat  itu menggali perigi dalam dagingku... (marah pada Stefani) Direguknya tiap tetes keringatku. (merobek-robek potongan kertas yang berceceran, lalu terdiam sejenak) Dan itu tidak adil! Katakan, apa itu adil?! (mendorong tubuh Stefani)

Peppin           : Ya, jangan mau diejek otak udang sama Stefani! Tonjok aja, tonjok!! (tepuk tangan sambil lompat-lompat)

Suster            : Ya, Andhika. Aku tahu ini tidak adil bagimu. (menenangkan Andhika lalu memberi sebuah pil) Telan ini, kau akan merasa jauh lebih baik.

Andhika        : Dia bilang aku otak udang, Suster!

Stefani          : Aku ralat sedikit. Kau bukannya otak udang, tapi kau memang tidak punya otak. (mendorong kepala Andhika)

Suster berusaha menenangkan Andhika.

Stefani kembali melakukan kegiatannya sebelumnya.

Suster            : (melemparkan pandangannya pada Rini dan Hans) Maaf, sepertinya kita tidak bisa melanjutkan pembicaraan ini. Saya akan mengantarkan Andhika kembali ke kamarnya, ia butuh banyak istirahat. Kalian bisa meneliti pasien lainnya selama saya pergi. Tidak akan lama.

Suster membawa Andhika pergi. Tinggal Rini, Hans, dan para pasien lainnya.

Hans              : Hebat, sekarang kita terjebak di sini bersama orang-orang gila! (sindiran)

Rini               : Kau pikir manusia di luar sana masih waras? Dunia memang sudah gila, mau diapakan lagi? Lagipula, kau sendiri yang memutuskan untuk mengambil jurusan psikologi. (agak kesal) Bersikaplah profesional, Hans.  Mungkin kita bisa bercermin dari pasien-pasien yang ada di sini.

Hans              : Bercermin pada orang-orang frustasi ini? Kau ini aneh sekali.

Rini               : (memperhatikan seorang gadis kecil yang menjadi pasien) Kau lihat? Gadis kecil itu terlalu dini menerima stres yang begitu beratnya.

Rini mendekati Lia yang sedang bermain boneka.

Rini              : Hai, boleh aku ikut bermain? (tersenyum)

Seketika Lia berhenti bermain. Wajahnya ragu, mendekap erat bonekanya.

Ia melirik Rini tanpa menoleh. Perlahan ia membalikkan tubuhnya dari hadapan Rini.

Lia kembali memainkan bonekanya.

Hans mendekati Rini.

Rini               : Kelihatannya kau senang sekali bermain boneka. Mau Kakak temani?

Lia diam saja. Tiba-tiba Peppin menghampiri Rini, menarik lengannya lalu berbisik.

Peppin           : Tak usahlah berteman dengannya... Kalian mau tahu rahasia? (melongok sebentar pada Lia) Dia itu... Orang gila!! (terkikik-kikik)

Lia cemberut, menimpuki Peppin dengan salah satu bonekanya.

Peppin           : Yaow! (melindungi diri) Ganas sekali! Laksana singa lepas dari kurungan!

Lia mulai terisak karena kesal.

Peppin           : Huu... (menirukan cara menangis) Cengeng! Sudah, ah! Aku tidak suka main sama anak kecil.

Peppin mencibir lalu pergi sambil bersenandung.

Peppin           : Alkisah seorang gadis kecil, tubuhnya mungil, kerdil, dan tengil. Hidup sendiri, alangkah sepi. Oh, Lia Si Mungil, kasihan sekali...

Rini mencoba menghibur Lia.

Rini               : Sudahlah, tidak usah diambil hati. (merogoh kantongnya) Ini, Kakak berikan sebuah permen.

Lia berhenti terisak lalu mengambil permennya.

Rini               : Namamu siapa?

Lia                 : Lia.

Rini               : Lia, nama yang bagus. Nama Kakak Rini, dan ini Kak Hans. Kok  Nina bisa sampai ke sini?

Lia                : Mereka tidak pernah mau mengerti.

Hans             : Mereka siapa?

Lia                : Siapa lagi? Mama, papa... (sambil terus bermain boneka dengan santainya) Lia sudah berusaha, tapi mereka selalu bilang 'Lia, kok nilainya cuma segini? Nggak bisa lebih bagus lagi?' atau 'Lihat Kak Adi, dia selalu dapat peringkat atas di kelas. Masa kamu nggak bisa seperti dia?'. Kak Adi, Kak Adi, selalu saja Kak Adi! Lia tidak pernah dianggap sama mama papa. (mulai menangis terisak)

Rini               : (memeluk Lia) Lia sayang, memang menyakitkan dibanding-bandingkan seperti itu. Mama papa Lia pasti sekarang menyesal telah memperlakukan Lia seperti itu.

Lia                 : Mungkin Lia bukan anak kandung mereka. Papa Lia dokter, mama Lia guru. Kok Lia paling bodoh sendiri di keluarga Lia? Lia sama sekali nggak membanggakan. Lia benci semuanya, Lia benci!

Tiba-tiba suster datang.

Suster            : Ada apa? Apa yang terjadi? (menemui Lia) Lia sayang, ayo diminum dulu obatnya.

Suster mendekap Lia, tetapi Lia terus memberontak.

Tiba-tiba dokter datang.

Dokter           : Lia! (khawatir) Tenanglah, Lia. (mengeluarkan suntikan lalu berusaha menyuntiknya)

Lia                 : Tidak! Lia mau bunuh diri saja! (memberontak) Tidak ada yang mengharapkan Lia hidup di dunia ini!

Lia perlahan tidak sadarkan diri karena efek obat bius.

Dokter           : Tidak apa-apa, saya akan membawa Lia ke kamarnya.

Hans menolong dokter membawa Lia ke kamarnya. Rini dan suster menunggu.

 Tak lama kemudian, Hans dan dokter datang kembali.

Dokter           : Tadi saya terpaksa membiusnya. Ia berada di rumah sakit jiwa ini karena telah berkali-kali melakukan percobaan bunuh diri.

Rini               : Sayang sekali, gadis sekecil itu menderita tekanan batin yang begitu beratnya.

Hans              : Tampaknya, orangtua Lia menuntutnya terlalu banyak sehingga ia mengalami depresi berat seperti itu.

Dokter           : Jika kalian masih ingin melanjutkan riset ini, kalian bisa mewawancarai gadis itu. (menunjuk pada Melani) Namanya Melani. Ia sempat mengalami trauma dan agak sensitif, tetapi ia tidak suka melukai dirinya sendiri ataupun orang lain secara fisik.

Hans              : Kalau boleh tahu, mengapa ia ada di sini?

Suster            : Ia kehilangan keperawanannya oleh lima laki-laki hidung belang.

Hans              : Astagfirullah... Bejat sekali mereka.

Rini               : Sungguh tidak bermoral. Sebegitu parahkah dunia ini, hingga pintu hati nurani manusia telah tertutup rapat?

Hans mendekati Melani perlahan-lahan.

Hans              : Melani...

Melani           : Kau siapa?

Hans              : Seorang yang ingin berteman denganmu. Bolehkah?

Melani           : Agar kau bisa menikmati setiap lekuk tubuhku juga? (tertawa sinis) Mereka, kau, dan kaummu yang sejenis itu sama saja. Mendekati wanita hanya untuk memuaskan nafsu pribadinya sendiri. (pandangan dingin) Kau ingin habiskan aku? Habiskan saja, hingga hasratmu terpuaskan. Aku memang sudah habis. Tak ada lagi milikku yang berharga.

Hans              : Aku mengerti perasaanmu.

Melani           : Tidak! Kau lelaki tahu apa? Kau tahu bagaimana perasaan seorang wanita kehilangan harga dirinya? Mereka memandangi sekujur tubuhku, polos... (berkaca-kaca) Mereka menyentuhku dengan tangan kotornya! Hati mereka sungguh busuk, dadaku sesak karenanya. Kasat mata mereka seperti manusia, tapi bagiku tidak lebih dari anjing-anjing liar! Aku tidak pernah menginginkannya, aku tidak pernah berharap. Namun aib itu selalu menghantui setiap langkahku. Semua mata yang memandangku menganggap aku rendah... (menangis)

Hans              : Kita masih bisa mengubahnya.

Melani          : Wanita selalu dalam posisi yang terpojok, betul 'kan? Jika terjadi sesuatu, wanitalah yang meringkuk di sudut penghakiman. Dan kini aku hanyalah binatang jalang yang dari kumpulannya terbuang.

Rini               : Hans, sudahlah. Ini lebih dari cukup. Aku tidak mengira bisa sampai serumit ini.

Hans dan Rini bertatapan sejenak. Hans menarik napas dalam-dalam.

Hans              : Kau benar.

Dokter           : Apa maksud kalian? Kalian tidak ingin menyelesaikan riset ini?

Rini               : Bukan begitu, Dok. Saya telah mendapatkan banyak pelajaran yang sangat berarti. Pelajaran mengenai hidup yang tak ternilai harganya. Dan saya rasa mereka bukanlah suatu objek yang kita cermati untuk sebuah riset, mereka lebih layak dipandang sebagai subjek yang hidup, yang memiliki pribadi, perasaan, dan pemikiran tersendiri.

Suster            : Kalian yakin? Kalau begitu, kedatangan kalian kemari tidak membuahkan hasil apa-apa.

Hans              : Tidak, Suster. Kami tidak merasa sia-sia datang kemari. Semestinya kita bercermin pada mereka. Lihat Tomi, dia satu dari sekian banyak orang yang mengidam-idamkan popularitas. Padahal, tanpanyapun manusia masih bisa hidup. Mengejar popularitas ibarat mengejar pemburu yang nantinya hanya akan mengurung diri kita sendiri dalam sulitnya privasi.

Tomi bertingkah seolah-olah artis terkenal.

Rini               : Tidak hanya Tomi. Kita juga bisa belajar dari nasib Andhika yang menunjukkan pada kita bagaimana jika manusia telah diperhambakan oleh uang dan kekayaan. Juga dari pasien lainnya yang terpuruk di sini.

Hans              : Mereka sebenarnya tidak gila, mereka hanya menjadi korban dari keabnormalan dunia yang semakin gila saja.

Epilog            : Kita tidak akan pernah tahu kapan dan darimana mendapatkan introspeksi diri. Para pasien Rumah Sakit Jiwa ini, misalnya. Mereka secara tidak langsung telah membuka tabir pandangan kita mengenai hidup lebih luas lagi. Menguak keabnormalan di dunia yang memang sudah tidak waras lagi.

Seluruh pemeran tampil ke depan panggung, bergandengan tangan dan memberikan hormat pada hadirin.

 

 

 

 

 

 

TAMAT


Enter supporting content here