CERITA-CERITA MENARIK KARANGAN CHUUI
Awal
Kabar
Tentang CHUUI
Cerita 1
Cerita 2
Cerita 3
Cerita 4
Cerita 5
Cerita 6
Cerita 7
Cerita 8
Cerita 9
Cerita 10
Cerita 11
Cerita 12
Cerita 13
Cerita 14
Cerita 15
Cerita 16
Cerita 18
Cerita Belum Selesai #1
Cerita Belum Selesai #2
Cerita Belum Selesai #3
Cerita Belum Selesai #4
Cerita Belum Selesai #5
Cerita Belum Selesai #6
Cerita Belum Selesai #7
Doa Seorang Muslimah

Cerita Belum/Tidak Selesai #4

              Di suatu tempat yang jauh, berjuta-juta tahun cahaya menembus angkasa luar, ada sebuah koloni yang aman dan makmur. Koloni itu berupa batang yang bercabang-cabang seperti pohon pada umumnya. Pada setiap cabangnya terdapat sebuah piringan yang sangat luas, tempat bermukim. Satu piringan merupakan satu distrik yang berdaulat, meskipun hubungan antardistrik tetap berjalan dengan baik.

              Ada lima distrik dalam koloni itu. Distrik yang berada di cabang yang paling bawah adalah Ouagudo, negeri yang bercorak Afrika. Distrik di atas Ouagudo adalah Zirbad, negeri bercorak Asia-Melayu. Distrik yang terletak di tengah adalah Tou-Makai, negeri bercorak Asia Timur. Distrik pada cabang selanjutnya adalah Al-Isnawiyah, negeri bercorak Timur Tengah. Dan distrik teratas adalah High-Estolandia, negeri bercorak Eropa.

              Zirbad merupakan distrik yang paling bersahaja di antara distrik-distrik lainnya, meskipun peradabannya sendiri tergolong maju. Ibukota Zirbad adalah Semasik, kota yang aman dan tentram. Dari kota Semasik inilah, kisah ini bermula.

===============================================================

              Azan berkumandang, bersahut-sahutan memecah kesunyian subuh. Di sebuah rumah yang terletak di deretan rumah yang berbaris di tepi jalan besar dari batablok, seorang gadis terbangun kemudian bangkit dari tempat tidurnya sambil mengucek matanya. Tak lama kemudian, ia turun ke bawah lewat tangga, dan tiba di ruang makan. Tak ada siapa-siapa di situ. Rupanya orang tuanya sudah berangkat kerja.

              Gadis itu bernama Fara. Rambutnya hitam dan sehat. Matanya lembut, hidungnya sedang, dan bibirnya kemerahan. Secara keseluruhan, ia bisa dibilang cantik.

              Hubungan orang tua gadis itu harmonis. Tak ada yang perlu dicemaskan. Begitu juga hubungan gadis itu dengan orang tuanya, tidak buruk. Gadis itu sedikit pun tidak merasa kurang dengan keadaannya sekarang ini. Ia bersyukur karena bisa hidup dalam kedamaian.

              Karena tak ada lagi yang bisa dilakukannya, ia kembali ke atas dan berwudu. Kemudian ia menggelar sajadahnya di lantai dan mengenakan mukenanya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung memulai salatnya. Gerakan demi gerakan dilakukannya dengan khusyuk. Setelah salam, ia beristigfar, berzikir, dan berdoa. Pada salah satu doanya, ia meminta agar kedamaian dan kebahagian tetap berada pada dirinya.

              Selesai salat, ia turun ke bawah lagi untuk memasak. Hal ini dilakukannya setiap hari, karena orang tuanya bekerja sebelum subuh dan kembali pada pagi harinya. Memasak cukup menyenangkan baginya, dan ia sudah terbiasa menghidangkan masakan-masakan yang lezat.

              Setelah sekitar setengah jam, jadilah nasi lemak untuk tiga porsi. Ditutupnya nasi lemak itu dengan tudung saji. Lalu ia kembali ke atas untuk mandi. Setelah mandi, ia membereskan tas sekolahnya dan kembali turun untuk sarapan.

              Memang rasanya sepi kalau makan sendirian, tetapi begitulah yang dialaminya. Setelah sarapan, ia memikul tasnya dan bersiap untuk ke sekolah. Ia mengunci pintu rumahnya (orang tuanya mempunyai kunci cadangan), membaca basmalah, dan berdoa.

              Fara menjauh dari rumahnya. Ia berjalan menyusuri jalan dari batablok yang di kiri-kanannya terdapat rumah, ruko, dan pertokoan yang rapat-rapat. Tak lama kemudian, ia tiba di persimpangan empat. Ia berjalan ke arah lurus, menuju ke pusat kota. Jalan menuju pusat kota memang agak menurun. Dari jalan itu, tampak jantung kota Semasik yang luas dan megah terhampar di lembah luas yang jauh.

              Setelah sekitar seperempat jam berjalan menuruni lereng lembah, Fara sampai di jalan pasar. Deretan pedagang buah, sayuran, daging, dan ikan dijumpainya sepanjang jalan itu. Tidak lama kemudian, ia berjalan melewati kolong jembatan layang. Saat keluar dari kolong jembatan layang, puluhan jalan raya terlihat berseliweran meramaikan Semasik. Mobil-mobil tak habis-habisnya memenuhi jalan-jalan besar itu. Gedung-gedung pencakar langit berdiri kokoh di mana-mana. Begitulah tampilan Semasik, kota yang megah.

              Udara terasa beracun. Kepulan debu dan asap menghalangi jalan Fara. Tak jarang ia harus menutup hidungnya untuk menghindari udara perkotaan yang tercemar. Meskipun begitu, ia sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu.

              Agak jauh dari jembatan layang tadi, Fara sampai di Semasik Square, lapangan- aspal luas berbentuk lingkaran yang dikelilingi toko-toko. Di tengah lapangan, terdapat gedung besar berbentuk kubus. Pada dinding gedung yang agak tinggi itu, terpahat tulisan Teater Serbaguna. Fara memasuki lorong yang agak tersembunyi di antara toko-toko yang mengelilingi square, kemudian terus berjalan menyusuri jalan sempit yang gelap. Setelah sekitar tiga menit, ujung lorong yang memancarkan cahaya terang pun terlihat.

              Fara sampai di hamparan rumput. Ia menengadah ke depan, agak ke atas. Gedung raksasa berbentuk masjid yang memiliki banyak kubah dan satu menara tinggi berdiri kokoh di hadapannya. Inilah sekolah Fara, Al-Ilmiah.

              Dengan yakin, Fara berjalan melewati hamparan rumput menuju pintu utama. Pintu utama sangat besar dan megah, tak berdaun, dan memanjang pada salah satu sisi gedung. Pilar-pilar besar dan tinggi berbaris di sepanjang depan pintu itu, dengan bagian atas saling bertemu, membentuk huruf U terbalik.

              Terlihat beberapa murid laki-laki maupun perempuan berkeliaran di dekat pintu utama. Fara menaiki undakan pendek dari marmer mengkilat, menyeberangi teras panjang antara pintu utama dengan barisan pilar, dan memasuki sekolah.

              Ruangan di balik pintu utama sangat luas dan megah. Puluhan lampu kristal bergelantungan di langit-langit ruangan yang amat tinggi. Lantai ruangan memantulkan bayangan benda-benda di atasnya. Kumpulan-kumpulan sofa terpencar jauh di segala penjuru, dan ada karpet merah yang dibentangkan dari tengah-tengah pintu masuk ke tangga di seberang ruangan. Tangga itu bercabang dua pada setengah tinggi ruangan, cabang yang satu ke kiri dan yang lainnya ke kanan. Masing-masing cabang tangga bergabung dengan balkon-balkon yang mengelilingi atas ruangan.


Enter supporting content here